Moescommfest 2024: Diskusi Isu Kekerasan Seksual di Kampus melalui Film “Penyalin Cahaya”

Penulis : Wilna Liana Azzahra

Moescommfest 2024: Nonton dan Diskusi Film yang telah diselenggarakan oleh LPM Media Publica pada Sabtu, (31/8) merupakan hasil kolaborasi dengan Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) (FIKOM UPDM (B).

Dengan mengangkat tema “Meneropong Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual melalui Film Penyalin Cahaya (Photocopier)”, kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai universitas, Media partner, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), dan juga tiga narasumber relevan, yakni Citra Eka Putri dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UPDM (B), Ika Setyowati Sutedjo dari Hope Helps Network, dan Tsaltsa Arsanti dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta.

Film yang berdurasi sekitar 2 jam lebih ini menceritakan tentang seorang mahasiswi bernama Suryani yang kehilangan beasiswanya setelah foto selfie-nya dalam keadaan mabuk tersebar di internet. Foto tersebut diambil tanpa sepengetahuannya saat ia menghadiri pesta klub teater kampus. Sur tidak terima dengan fakta tersebut sebab ia yakin tidak mengunggahnya ke internet. Ia kemudian berusaha mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas insiden tersebut, yang membawanya pada rangkaian pengungkapan yang lebih gelap terkait penyalahgunaan kekuasaan dan pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswa dan anggota teater kampus tersebut.

Sesi diskusi dimulai dengan Citra Eka Putri sebagai Satgas PPKS UPDM (B) mensosialisasikan sekaligus menjelaskan bagaimana peran Satgas PPKS di lingkup kampus.

“Anggota Satgas PPKS yang terdiri dari perwakilan karyawan, dosen, dan mahasiswa. Kita harus punya kontribusi untuk sosialisasi. Teman-teman jangan takut melaporkan. Entah kita jadi saksi, kita jadi korban, dan lain sebagainya. Kita akan mendampingi,” tuturnya.

Diskusi selanjutnya beralih pada salah satu kejadian di dalam film, dimana tokoh Suryani, mengalami ketakutan untuk melaporkan hal yang dialaminya. Ika Setyowati Sutedjo sendiri menyoroti bahwa kemungkinan stigma sosial saat melapor itu ada.

“Iya, ada. Apalagi tadi disampaikan (dalam film), ada korban bukan hanya perempuan tapi laki-laki gitu. Jadi, kadang korban juga merasa takut kalau misalnya melaporkan karena takut disalahin,” jelas Ika. Maka dari itu, Ika menyebutkan bahwa perlu memberikan safe space bagi korban saat bercerita atau melaporkan.

Terakhir, Tsaltsa Arsanti membahas bagaimana pelaporan kasus kekerasan seksual kepada pihak polisi itu masih banyak kekurangannya. “Polisi sendiri tuh kalau masalah crime report-nya ngga menggambarkan kekerasan seksual dengan baik, laporan itu tidak akan diterima. Istilahnya laporan itu jadi kayak pingpong, dilempar-lempar” ujar Tsaltsa.

Melalui kegiatan nonton dan diskusi film “Penyalin Cahaya”, peserta yang hadir mendapatkan banyak insight baru atas isu kekerasan seksual yang ada di Indonesia, terkhusus di lingkup kampus dan diharapkan dapat meningkatkan kepedulian dan keberanian untuk melaporkan jika terjadi kasus kekerasan seksual di sekitar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *