Krisis Identitas Mahasiswa

Penulis: Arya Pramuditha

Krisis identitas adalah fenomena dimana seseorang mengalami kebingungan atas apa yang dia tanyakan pada dirinya sendiri, dan tidak mampu menerjemahkan ‘siapa aku? untuk apa aku ada?’. Fenomena ini sedang menjamur dimana-mana, terutama di ruang kampus. Tidak hanya di kampus-kampus besar yang berlabel perguruan tinggi negeri, tapi juga di kampus-kampus swasta. Mengapa bisa terjadi? Dan seperti apa krisis identitas mahasiswa hari ini?

Ketika banyak fasilitas ditutup, terutama di lembaga pendidikan perguruan tinggi, menyebabkan mahasiswa mengalami krisis identitas. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana sekarang mahasiswa mendeklarasikan eksistensinya sebagai kaum terpelajar yang hanya menjadi gaungan-gaungan sekelompok orang-orang yang memiliki keistimewaan kesempatan belajar di universitas.

Aktivasi ruang kampus yang bisa kita lihat hari ini hanya berisi tentang diskusi-diskusi isu yang menggiring opini kepada keresahan pergolakan politik kampus, yang sebenarnya telah usang. Seharusnya kita bisa lebih mengaktivasi ruang kampus menjadi ruang-ruang laboratorium karya dan sumber-sumber keilmuan yang spektrumnya lebih luas.

Apakah kita sudah menjadi mahasiswa yang mengerti arti dan makna dibalik nama mahasiswa? Apa bukti kita sudah pantas menjadi agen perubahan? Apa karya kita yang membuat masyarakat menjadi lebih maju dari sebelumnya? Apakah kita sudah menulis sesuatu untuk dibaca oleh orang banyak? Atau pada akhirnya kita hanya belajar untuk menjadi robot pekerja? Sudahlah… Terlalu banyak pertanyaan yang mesti kita tanyakan kepada diri kita sendiri.

Tanpa kita sadari banyak mahasiswa yang berkuliah hanya untuk gelar dan formalitas, hanya sekadar untuk menjadi robot pekerja yang gajinya sedikit lebih besar dari lulusan SMA. Mereka berapi-api bersuara sebagai agen perubahan, tetapi setelah mereka lulus, mereka tidak memiliki proyeksi apapun dari keilmuan mereka untuk masyarakat. Bisa kita lihat hari ini problematika pendidikan dan pengetahuan literasi masyarakat kita masih rendah.

Dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi kita tahu apa fungsi dan maksud dari pendidikan perguruan tinggi. Ada tiga poin yang perlu kita kaji kembali, yaitu: pendidikan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan yang terakhir adalah pengabdian pada masyarakat. Apakah hari ini kita sudah melakukan itu? Atau mencoba berproses untuk meraih itu?

Selain itu ada 4 pilar UNESCO untuk tujuan pendidikan, yaitu learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together. Empat pilar ini kadang luput dari bacaan identitas mahasiswa untuk menerjemahkan diri mereka dan menjadi alasan mereka berkuliah. Saat ini mahasiswa hanya menjadi aset-aset kapital yang akan tetap menjadi budak kapital jika hanya berkuliah untuk sekadar standarisasi ijazah ataupun legitimasi angka gaji setelah lulus.

Riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Lalu bagaimana dengan kabar literasi di kampus kita?

Hal-hal diatas menunjukan, bahwa kita belum memiliki dampak apa-apa terhadap kemajuan proses berpikir masyarakat karena untuk sekedar menularkan kesadaran keinginaan belajar saja kita tidak mampu. Kita tidak bisa terus menerus membicarakan omong kosong problematika sosial yang kita angkat hanya untuk menjadi topik obrolan di tongkrongan agar terlihat seolah-olah kita ini keren meskipun tidak melakukan apa-apa. Lalu untuk apa ada pengabdian masyarakat jika hanya untuk menggugurkan kewajiban dan meraih syarat kelulusan?

Apakah kita masih akan tetap seperti ini? Menjadi sekadar keren-kerenan namun dilupakan oleh peradaban? Pramoedya Anantatoer pernah berkata, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Maka dari itu, kita harus sudah mulai sadar untuk apa kita belajar? Dan akan kita apakan hasil dari belajar kita? Rebutlah ruang-ruang kampus sebagai media belajar dan berkembang. Untuk pada akhirnya melahirkan sesuatu yang berdampak pada kemajuan zaman.

Akan menarik jika yang membaca bertanya kepada penulis. Misalkan pertanyaanya seperti ini: terus solusi nya bagaimana? Emang yakin lu bisa bikin maju Indonesia? Emang lu udah ngelakuin apa sampe nulis kaya gini? Itu hanyalah pertanyaan yang keluar dari orang-orang yang secara eksplisit merasa dirinya memang krisis identitas dan tidak memiliki tujuan hidup. Bisanya hanya buang tai saja. Mereka pada akhirnya bersandar pada pandangan pragmatis sentimen tanpa membangun kerangka berpikir untuk membuat konsensus semua pihak.

Mengapa saya bilang seperti itu, karena untuk memikirkan solusi, kita harus memiliki strategi. Yang tidak bisa hanya sekedar saling menyudutkan satu sama lain. Kita harus mulai membangun ruang-ruang inklusif dengan memanfaatkan kampus sebagai ruang aman basis akademisi dan keilmuan. Mulailah dengan mendekatkan diri kepada keinginan untuk berbuat sesuatu, mulailah membaca buku dan keadaan apa yang perlu dibenahi, ajak setiap orang yang dirasa memang mampu untuk menghasilkan ruang inklusif dan merumuskan tujuan yang sedikit lebih baik.

Ruang yang saya maksud disini bukanlah sebatas ruang organisasi yang isinya adalah orang-orang ekslusif dan sok berkuasa, yang melakukan sesuatu berdasarkan kepentingan laporan pertanggung jawaban dan program kerja. Akan tetapi, ruang yang penulis maksud adalah ruang temu yang bebas dari intervensi sebuah AD/ART dan kepentingan tujuan perorangan yang mendominasi sebagai pemimpin tertinggi. Ruang yang bebas untuk berekspresi, ruang yang bebas dari nilai-nilai memuakkan yang bersifat utopia hasrat onani sadomasokis ideologi.

Mau seperti apa ruang itu? Itu mesti dijawab oleh kita yang memiliki keresahan bersama dalam sebuah forum bebas yang akhirnya bisa mencitakan konsep dan metode yang bersifat konstruktif. Membangun ruang-ruang kolektif yang memiliki konsensus bersama namun tidak melupakan kebebasan otonom dan individu, tanpa ditanyakan terlebih dahulu dari organisasi apa dan didelegasikan darimana. Jawablah oleh kita sendiri, mau jadi apa kita? Dan akan melakukan apa kita? Sampai pada akhirnya apa yang kita lakukan berdampak pada apa yang telah kita tapaki. Tidak terbatas oleh periode jabatan ataupun tahun ajaran kita lulus dari pergurun tinggi. Akan tetapi, tidak cukup juga jika hanya berkutat di poin kesadaran. Karena Marx pernah berkata dalam teori materialisme historisnya bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaraan mereka. Keadaan sosial manusia merupakaan produksinya, cara manusia berpikir ditentukan oleh cara ia bekerja. Lalu bagaimana cara kita menyikapi keadaan sosial yang akan mendorong kita untuk sadar, jika hanya sekedar mengaku mahasiswa saja tanpa melihat bagaimana kita memproduksi sesuatu, maka kita hanyalah orang-orang sporadis yang tidak memiliki modal untuk menanamkan kesadaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *