Penulis: Aldi Muhammad Fadhilah
Amerika Serikat pada Rabu 2 April 2025 mengumumkan tarif resiprokal kepada sejumlah negara. Tarif resiprokal atau yang biasa dikenal sebagai tarif timbal balik bertujuan untuk membenahi ketidakseimbangan perdagangan yang terjadi antara dua negara. Dengan menentukan tarif setara, kedua negara dapat melindungi industri lokalnya dari barang murah asing. Tujuan tersebut juga tertulis dalam situs resmi Gedung Putih yang menyebut pemberlakuan tarif resiprokal bertujuan untuk melawan ketidakadilan tarif yang mendera para pelaku ekonomi Amerika Serikat.
Indonesia termasuk salah satu negara yang dikenai tarif resiprokal dari Amerika Serikat dengan jumlah 32 persen. Lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara yang lain seperti Filipina dikenai 17 persen, tetapi lebih rendah dari Kamboja yang dikenai tarif sebesar 49 persen. Tarif resiprokal ini diperkirakan akan memberi dampak signifikan bagi ekspor Indonesia. Tarif ini berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan mengancam industri padat karya yang menopang perekonomian nasional.
Terdapat beberapa faktor yang membuat amerika memberikan tarif tambahan terhadap Indonesia. Diantaranya adalah ketidak seimbangan neraca perdagangan, perlindungan terhadap industri dalam negeri AS, Dinamika politik dan strategi geopolitik AS, serta permasalahan non ekonomi seperti HAM dan lingkungan.
Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia selama tahun 2024 terhadap Amerika membuat ketimpangan sebesar 16,08 Miliar Dollar AS. Hal ini didasari oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekspor dari sektor nonmigas, AS menempati tempat kedua setelah China dalam sektor ini.
Selain itu, Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat turut menjadikan kebijakan tarif ini sebagai upaya melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan produk asing yang lebih murah. Banyak sektor industri di AS, seperti tekstil, alas kaki, dan manufaktur ringan, mengalami tekanan akibat membanjirnya produk impor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Produk-produk Indonesia kerap dijual dengan harga lebih rendah karena ditopang oleh biaya produksi yang lebih murah, terutama dari upah tenaga kerja yang rendah dan ketersediaan bahan baku lokal. Bagi pemerintah AS, kondisi ini menciptakan lapangan kerja yang hilang di dalam negeri, serta memperlebar ketimpangan kompetitif antara produsen domestik dan produsen asing.
Jika ditinjau lebih dalam, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia juga bisa dipahami dalam konteks nilai-nilai non ekonomi seperti hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan lingkungan. Produk ekspor utama Indonesia kepada AS, seperti kelapa sawit, tekstil, dan alas kaki, kerap dikritik karena terkait dengan praktik yang merusak lingkungan dan mengeksploitasi tenaga kerja. Industri kelapa sawit, misalnya, sering dituduh menyebabkan deforestasi dan krisis ekologi, sementara sektor tekstil dikaitkan dengan upah rendah, jam kerja berlebihan, dan lemahnya perlindungan terhadap pekerja, terutama perempuan. Pemerintah AS berpandangan, praktik semacam ini memberi keuntungan yang tidak adil bagi produk Indonesia di pasar global. Karena itu, tarif resiprokal juga berfungsi sebagai tekanan agar Indonesia memperbaiki standar lingkungan dan ketenagakerjaan, sekaligus memperkuat posisi AS sebagai negara yang mendorong perdagangan yang lebih etis dan berkelanjutan.
Kebijakan ini tentu saja sangat mencerminkan langkah AS untuk menegaskan kembali pengaruhnya dalam tatanan perdagangan internasional di tengah persaingan ekonomi global, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi besar di Asia Tenggara dan mitra dagang utama AS menjadi bagian dari strategi ini. Dengan memberlakukan tarif tinggi, AS ingin mendorong penyesuaian kebijakan ekonomi negara mitra agar lebih terbuka terhadap produk Amerika serta mengurangi ketergantungan terhadap impor dari negara-negara yang dianggap merugikan industrinya sendiri. Tarif ini juga merupakan lanjutan dari kebijakan proteksionis yang berkembang sejak era pemerintahan Donald Trump, yang menekankan agenda “America First” dan masih berpengaruh dalam arah kebijakan perdagangan AS saat ini. Melalui tarif resiprokal, AS berupaya memperkuat posisi tawarnya dalam negosiasi bilateral dan menunjukkan bahwa hubungan dagang harus didasarkan pada asas timbal balik yang dianggap adil menurut perspektifnya sendiri.
Industri nasional yang akan merasakan pengaruh besar terhadap kebijakan ini yaitu tekstil, garmen, alas kaki, dan produk kelapa sawit karena bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat. Saat ini, Amerika Serikat memiliki posisi sebagai mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia setelah Cina. 10,5 persen dari total ekspor Indonesia ditujukan untuk pasar Amerika. Selain itu, Indonesia berhasil mencatat surplus perdagangan yang signifikan dengan Amerika Serikat yaitu sebesar 16,08 miliar dolar AS. Surplus ini menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat jauh melebihi impornya dari negara Amerika Serikat. Hubungan dagang ini menunjukkan kecenderungan untung bagi Indonesia.
Adapun 10 produk ekspor Indonesia yang sangat berpotensi terdampak tarif resiprokal Amerika Serikat adalah:
- Mesin dan perlengkapan elektrik: 4,18 miliar dolar AS
- Pakaian dan aksesori (rajutan): 2,48 miliar dolar AS
- Alas kaki: 2,39 miliar dolar AS
- Pakaian dan aksesori (bukan rajutan): 2,12 miliar dolar AS
- Lemak dan minyak hewani/nabati: 1,78 miliar dolar AS
- Karet dan barang dari karet: 1,685 miliar dolar AS
- Perabotan dan alat penerangan: 1,432 miliar dolar AS
- Ikan dan udang: 1,09 miliar dolar AS
- Mesin dan peralatan mekanik: 1,01 miliar dolar As
- Olahan daging dan ikan: 788 juta dolar AS
Akibat dari tarif ini, dikhawatirkan industri tekstil di Indonesia akan semakin menurun. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia mencatat 60 perusahaan tekstil tutup dalam dua tahun terakhir. Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 24 ribu buruh tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2024. Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya juga memperkirakan akan ada penutupan pabrik dan PHK, terutama perusahaan menengah dan besar. PHK di industri kecil dan menengah (IKM) jauh lebih besar diperkirakan 1.000 unit, yang akan memicu banyak orang kehilangan mata pencarian.
Menanggapi kebijakan ini, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto menekankan bahwa pentingnya pendekatan diplomasi yang terbuka dan rasional untuk menjaga hubungan internasional yang adil dan seimbang. Ia mengatakan akan berunding dengan Amerika Serikat dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi untuk melakukan negosiasi tingkat tinggi di Washington DC.
Langkah strategis yang diambil pemerintah indonesia untuk kebijakan tarif resiprokal dengan penyederhanaan dan penghapusan regulasi yang menghambat perdagangan internasional, terutama Non-Tariff Measures (NTMs) untuk meningkatkan daya saing untuk menarik investasi.
Meski langkah diplomasi menjadi pendekatan utama, Indonesia juga perlu memperkuat strategi dalam negeri agar tidak selalu berada di posisi reaktif dalam peta perdagangan global.
Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia bukan sekadar langkah ekonomi, tetapi juga representasi dari dinamika politik global, isu keberlanjutan, dan upaya menjaga dominasi dalam sistem perdagangan internasional. Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan diplomasi, tetapi juga perlu melakukan pembenahan struktural di dalam negeri, baik dari sisi keberlanjutan industri, standar ketenagakerjaan, hingga daya saing produk ekspor. Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi strategi perdagangan dan pembangunan ekonomi nasional agar lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.