Penulis: Ahmed Maulady Hakim
Keadaan lingkungan yang krisisnya semakin nyata membuat pendekatan feminis dalam melihat dan merawat alam menjadi sangat relevan di situasi saat ini. Perspektif feminis terhadap lingkungan tidak hanya berfokus pada keberlanjutan, tetapi juga pada hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Pendekatan feminis menekankan nilai kepedulian, keterhubungan, serta keadilan ekologis.
Dalam perspektif feminis, perempuan memiliki peran yang tak tergantikan dalam memastikan keberlangsungan hidup umat manusia. Peran ini tidak hanya terbatas pada kemampuan biologis perempuan untuk melahirkan generasi baru, tetapi juga mencakup kontribusi mereka terhadap aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan. Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex, menyoroti bahwa meskipun peran biologis perempuan sering kali dieksploitasi oleh patriarki, itu sebenarnya adalah kekuatan yang perlu dihormati dan diapresiasi.
Secara sosial, perempuan berfungsi sebagai agen perubahan yang membentuk fondasi moral dan etika dalam keluarga dan komunitas. Bell Hooks, dalam karyanya Feminism is for Everybody, menegaskan bahwa memberdayakan perempuan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan stabilitas keluarga. Bukti konkret bisa dilihat dalam program-program mikrofinansial seperti Grameen Bank, yang menunjukkan bahwa perempuan memanfaatkan sumber daya ekonomi dengan lebih bertanggung jawab, menghasilkan manfaat langsung bagi masyarakat.
Perempuan juga memiliki peran krusial dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Vandana Shiva, melalui bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Development, menekankan hubungan erat antara perempuan dan pelestarian sumber daya alam. Di banyak komunitas pedesaan, perempuan sering kali menjadi penjaga air, tanah, dan hutan, yang semuanya merupakan fondasi ekosistem. Tanpa kontribusi mereka, sistem lingkungan lokal sering kali mengalami degradasi yang lebih cepat.
Dalam konteks kerusakan lingkungan, kaum perempuan adalah pihak paling rentan terdampak oleh krisis iklim. Mereka bertanggung jawab dalam mengurus pangan, air, dan keberlanjutan keluarga, menjadikan mereka lebih dekat dengan siklus alam. Perempuan juga memiliki peran sentral dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama di komunitas pedesaan.
Dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lebih dirasakan oleh kaum perempuan, terutama mereka yang hidup di wilayah agraris dan maritim. Ketika sumber daya alam seperti air bersih dan lahan pertanian semakin langka, perempuan harus turut serta bekerja membantu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Hingga kini, oligarki kapitalis terus memperluas eksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan krisis iklim yang dihasilkan.
Perubahan iklim ternyata memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kesehatan kaum perempuan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa antara tahun 2030 hingga 2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan 250.000 kematian per tahun secara global, yang disebabkan oleh malnutrisi, malaria, diare, dan stres akibat kondisi lingkungan yang memburuk.
Perempuan sebagai Agen Perubahan
Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan perubahan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi, politik, hingga lingkungan. Dalam bidang sosial, perempuan sering menjadi penggerak utama dalam komunitas, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Mereka berperan sebagai pendidik bagi generasi mendatang dan turut serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sektor ekonomi, perempuan semakin aktif dalam kewirausahaan dan menciptakan peluang kerja yang memberdayakan kelompok-kelompok rentan. Selain itu, dalam dunia politik, kehadiran perempuan dalam kepemimpinan membawa perspektif yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan sosial. Tidak hanya itu, perempuan juga berperan dalam gerakan lingkungan.
Perempuan yang selalu dipandang lemah oleh kaum patriarki muncul sebagai agen perubahan. Banyak gerakan lingkungan yang dipimpin oleh perempuan. Salah satunya adalah gerakan Green Belt Movement, yang didirikan oleh Wangari Maathai pada tahun 1977 di Kenya. Gerakan lingkungan ini bertujuan mengatasi deforestasi, degradasi tanah, dan ketidaksetaraan gender di Kenya melalui penanaman pohon dan pemberdayaan perempuan. Gerakan ini mendorong komunitas lokal, terutama perempuan, untuk terlibat aktif dalam melestarikan lingkungan sambil meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Hingga kini, lebih dari 50 juta pohon telah ditanam. Hal ini memberikan dampak positif terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat setempat. Wangari Maathai juga menerima Penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2004 sebagai pengakuan atas dedikasinya terhadap pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Green Belt Movement menjadi inspirasi global bagi gerakan penghijauan dan pemberdayaan perempuan di berbagai belahan dunia.
Pengambilan keputusan terkait lingkungan harus melibatkan perempuan secara aktif, mengingat mereka memiliki perspektif dan pengalaman langsung dalam mengelola sumber daya alam. Keadaan sistem yang sekarang ini didominasi oleh para oligarki kapitalis sangat tidak peduli terhadap kaum perempuan dalam mengeksploitasi sumber daya alam.
Kapitalisme Hijau dan Peminggiran Perempuan dalam Narasi Keberlanjutan
Kapitalisme hijau hanya mengedepankan struktur ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan dalih keberlanjutan. Pendekatan ini hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan ketimpangan sosial, terutama yang dialami oleh kelompok marjinal seperti kaum perempuan dan masyarakat adat. Konsep ini menggabungkan prinsip kapitalisme dengan keberlanjutan lingkungan, dengan ide utama bahwa pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan dapat berjalan beriringan melalui inovasi, investasi dalam teknologi ramah lingkungan, serta kebijakan yang mendukung ekonomi hijau.
Kapitalisme hijau mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik bisnis yang lebih berkelanjutan, seperti energi baru terbarukan, ekonomi sirkular, dan pengurangan emisi karbon, sambil tetap berorientasi pada keuntungan. Kapitalisme hijau sering dikritik karena dianggap sebagai greenwashing, atau solusi semu yang masih berbasis pada sistem kapitalis yang eksploitatif. Namun, para aktor pro-kapitalisme hijau berargumen bahwa pendekatan ini adalah jalan pragmatis menuju keberlanjutan demi pertumbuhan ekonomi.
“Tanpa produksi subsisten oleh alam dan perempuan, tidak akan ada komoditas maupun keuntungan.”
Pernyataan ini dilontarkan oleh Maria Mies, seorang tokoh utama dalam teori ekofeminis materialis — sebuah paham yang mengkritik hubungan antara patriarki, kapitalisme, dan eksploitasi alam.
Ekofeminisme sebagai Solusi Berkeadilan
Ekofeminisme melihat hubungan erat antara penindasan perempuan dan eksploitasi alam dalam sistem patriarki dan kapitalisme. Perempuan sering kali berperan dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi kapitalisme hijau justru meminggirkan mereka dengan mengalihkan kontrol lingkungan kepada korporasi. Komodifikasi alam melalui perdagangan karbon atau proyek konservasi berbasis pasar semakin memperburuk ketimpangan ini, menggusur masyarakat lokal demi kepentingan ekonomi global. Kapitalisme hijau juga memperkuat dominasi negara industri atas negara berkembang. Proyek energi terbarukan seperti tambang lithium dan ladang panel surya sering kali melibatkan eksploitasi tenaga kerja dan perampasan lahan, yang merugikan perempuan dan komunitas miskin.
Kapitalisme hijau tidak mengubah pola eksploitasi, hanya mengalihkan bentuknya. Sebagai alternatif, ekofeminisme menekankan ekonomi berbasis komunitas, seperti agroekologi dan pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal.
Dekolonisasi lingkungan diperlukan untuk mengembalikan hak komunitas adat dan perempuan dalam menjaga keseimbangan alam. Transformasi sosial yang lebih mendalam, bukan sekadar inovasi teknologi, adalah kunci dalam mengatasi krisis ekologis secara adil dan berkelanjutan. Feminisme ekologis menekankan bahwa solusi lingkungan harus bersifat inklusif, berbasis komunitas, dan mempertimbangkan peran perempuan sebagai penjaga.
Perempuan memiliki peran sentral dan tak tergantikan dalam merawat serta menjaga keberlanjutan alam. Dalam perspektif feminis, khususnya ekofeminisme, hubungan antara perempuan dan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari realitas ketimpangan sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh sistem patriarki dan kapitalisme. Perempuan, terutama di wilayah agraris dan maritim, berada pada posisi garis depan krisis lingkungan, baik sebagai pihak yang paling terdampak maupun sebagai agen perubahan yang tangguh.
Meski sering kali dipinggirkan dalam pengambilan keputusan dan diabaikan perannya, perempuan justru menunjukkan kapasitas luar biasa dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, membangun ketahanan komunitas, dan memimpin gerakan lingkungan. Namun, narasi kapitalisme hijau yang menyelimuti banyak proyek keberlanjutan saat ini justru berpotensi melanggengkan ketimpangan dengan mengkomodifikasi alam dan mengabaikan kearifan lokal serta peran perempuan.
Maka dari itu, solusi terhadap krisis lingkungan harus bersifat inklusif dan adil, dengan mengakui serta memberdayakan perempuan sebagai penjaga alam dan penggerak perubahan. Dekolonisasi lingkungan, penghargaan terhadap kearifan lokal, dan penguatan ekonomi komunitas adalah jalan menuju masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi.
Perempuan bukan hanya korban dari krisis ekologis, tetapi juga kunci dalam membangun dunia yang lebih selaras antara manusia dan alam. Sudah saatnya dunia mendengar suara perempuan, tidak hanya sebagai korban krisis ekologis, tetapi sebagai penjaga bumi dan pemimpin dalam jalan perubahan.