Penulis: Tubagus Eko Saputra
Daya Anagata Nusantara, atau yang disingkat dengan nama Danantara, adalah sebuah program yang dibentuk dengan tujuan mengelola kekayaan Indonesia secara lebih optimal. Program ini diresmikan pada 24 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan melibatkan dua mantan Presiden, Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Dewan Penasehat. Danantara beroperasi dengan mekanisme menggabungkan aset berbagai lembaga milik negara seperti BUMN dan Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Nantinya danantara lebih berfokus pada pengelolaan aset negara dalam bentuk investasi strategis untuk proyek-proyek besar, seperti di sektor energi terbarukan, pengolahan logam, dan manufaktur canggih.
Untuk merealisasikan ambisi tersebut, Danantara beroperasi dengan modal awal sebesar 300 triliun rupiah atau setara dengan 20 miliar dolar AS, sebagian anggaran tersebut merupakan hasil dari efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 2025. Targetnya, lembaga ini akan mengelola aset hingga 14.600 triliun rupiah atau sekitar 900 miliar dolar AS. Namun, besarnya anggaran dan luasnya cakupan kerja Danantara justru menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi konflik kepentingan serta peluang terjadinya praktik korupsi dalam pengelolaan anggaran tersebut.
Potensi Konflik Kepentingan: Ketika Pengelola Juga Pemain
Tidak dapat disangkal bahwa pembentukan Danantara memiliki potensi terjadinya konflik kepentingan dalam tubuh lembaga ini. Beberapa figur yang menduduki posisi strategis dalam Danantara diketahui memiliki kepentingan bisnis yang beririsan langsung dengan sektor yang dikelola lembaga tersebut. Contohnya adalah Pandu Satria Sjahrir, yang selain menjabat sebagai Chief Investment Officer (CIO) di Danantara, juga merupakan Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama serta Komisaris di PT Adimitra Baratama Nusantara, sebuah perusahaan tambang batu bara dengan konsesi seluas hampir 2.990 hektare di Kalimantan Timur.
Hal serupa juga terlihat pada Geribalda Thohir, kakak dari Erick Thohir yang tengah menjabat sebagai Menteri BUMN sekaligus Ketua Dewan Pengawas Danantara. Geribalda adalah Presiden Direktur PT Adaro, salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia. PT Adaro diketahui menjadi pemasok utama batu bara untuk beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang termasuk dalam PSN, seperti PLTU Batang dan PLTU Suralaya.
Sosok lain yang juga menimbulkan kekhawatiran adalah Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo sekaligus pendiri Danantara. Hashim memiliki Arsari Group, perusahaan yang bergerak di berbagai sektor industri, termasuk perdagangan Internasional, konstruksi, energi terbarukan, dan pertambangan melalui anak perusahannya, yaitu, PT Arsari Tambang yang konsen pada pertambangan dan pengolahan Timah dengan konsesi seluas lebih dari 400 hektare yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung. Dengan luasnya cakupan bisnis Arsari Group, Perusahaan ini menjadi tender untuk berbagai Proyek Strategis Nasional, terutama dalam sektor pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sedang digencarkan oleh pemerintahan saat ini. Pertanyaan pun muncul: akankah Danantara menjadi ladang emas bagi perusahaan-perusahaan milik para pejabat, sementara rakyat hanya menjadi penonton?
Belajar dari Kegagalan: Jiwasraya dan ASABRI
Pembentukan Danantara juga dikhawatirkan menjadi ladang baru bagi praktik korupsi. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, mengingat Indonesia memiliki rekam jejak buruk dalam pengelolaan dana investasi negara. Dua kasus besar yang menjadi sorotan adalah skandal Jiwasraya dan ASABRI.
Jiwasraya, perusahaan asuransi jiwa milik negara yang berdiri sejak 1859, mengalami krisis finansial akibat salah kelola investasi, gagal bayar klaim nasabah, serta praktik korupsi yang melibatkan penempatan dana pada investasi berisiko tinggi. Hal serupa terjadi pada ASABRI, perusahaan asuransi sosial bagi prajurit TNI, anggota Polri, dan ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan. Pada 2020, ASABRI mengalami skandal korupsi yang merugikan negara lebih dari 22 triliun rupiah akibat investasi pada saham berkinerja buruk dan reksa dana yang tidak transparan.
Dalam konteks Danantara, risiko korupsi semakin besar karena lemahnya regulasi pengawasan. Walaupun Presiden Prabowo menyatakan bahwa Danantara dapat diaudit oleh siapapun, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN justru menyebutkan bahwa Danantara tidak bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini semakin meningkatkan potensi penyimpangan dalam pengelolaan dana yang sangat besar tersebut. Dua skandal ini menjadi pengingat bahwa tanpa pengawasan yang kuat, investasi negara justru menjadi ladang korupsi.
Analisis Teoritis: Antara Kepentingan Publik dan Pribadi
David Luban dalam teorinya tentang Conflict of Interest menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi ketika seseorang memiliki tanggung jawab untuk bertindak demi kepentingan publik tetapi juga memiliki insentif pribadi yang dapat menghambat keputusan objektif. Dalam kasus Danantara, konflik kepentingan terjadi karena sejumlah elit politik yang menduduki posisi strategis juga memiliki kepentingan bisnis di sektor yang dikelola lembaga ini. Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, keputusan investasi Danantara berpotensi lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu ketimbang mendorong kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption mengajukan formula bahwa korupsi terjadi dalam sistem yang memiliki monopoli kekuasaan, keleluasaan dalam pengambilan keputusan, dan minimnya akuntabilitas. Dalam konteks Danantara, monopoli atas investasi negara ditambah dengan lemahnya mekanisme audit menciptakan kondisi ideal bagi terjadinya korupsi. Jika regulasi tidak diperketat dan transparansi tidak ditingkatkan, maka Danantara bisa menjadi pengulangan dari kegagalan program investasi negara sebelumnya.
Danantara dibentuk dengan tujuan mulia untuk mengelola kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, adanya potensi konflik kepentingan dan lemahnya regulasi pengawasan membuat program ini rentan terhadap penyimpangan. Jika pemerintah serius ingin menjadikan Danantara sebagai instrumen yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat, maka langkah-langkah seperti peningkatan transparansi, penguatan mekanisme pengawasan independen, serta pembatasan pengaruh elit politik dalam keputusan investasi harus segera dilakukan. Tanpa upaya tersebut, Danantara justru berisiko menjadi alat yang lebih menguntungkan segelintir pihak ketimbang mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.