Kolektif Memori Perempuan Terhadap Tentara

Penulis: Dinda Siti Aisyah

Di tengah gelombang kritik serta penolakan dari berbagai elemen masyarakat, DPR RI tetap bersikeras mengesahkan revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui rapat paripurna pada 20 Maret 2025. Prosesnya pun jauh dari kata transparan dan partisipatif, pembahasan terkait pengesahan UU yang diselenggarakan secara diam-diam, di luar jam kerja, bahkan di luar Gedung DPR RI. Semua berlangsung tergesa, seolah ada yang ingin disembunyikan dari publik.

Pengesahan ini bukan sekadar urusan prosedural, tapi juga penanda arah ke mana negara ini melangkah. Namun sayangnya, langkah itu semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Alih-alih memperkuat kendali sipil atas militer seperti semangat reformasi 1998, revisi UU TNI ini justru memberi ruang yang semakin luas bagi militer untuk masuk ke ranah-ranah sipil. Jika sebelumnya prajurit aktif hanya boleh menduduki jabatan sipil di 10 kementerian/lembaga, kini jumlah itu naik menjadi 15, dengan tambahan frasa karet “sesuai kebijakan presiden”. Frasa ini jadi kunci-kunci pembuka pintu TNI masuk ke mana pun, tanpa kontrol yang jelas.

Dengan dalih “Pengelolaan sumber daya nasional di era geopolitik global.” Dalih yang terdengar strategis, tapi sebenarnya membuka jalan bagi TNI menjadi kekuatan superpower di dalam negeri, mengurus apa saja, di mana saja, kapan saja. Data dari Imparsial bahkan mencatat, sejak 2023, teradapat sekitar 2.500 prajurit aktif yang sudah duduk di jabatan sipil. Lalu, mau dibawa ke mana demokrasi kita kalau semua lini kehidupan sipil kini bisa dikendalikan militer?

Sumber Foto: Arya Pramudita/LPPM Parmagz

Bahaya terbesar dari undang-undang ini bukan hanya pada kertas, tetapi pada kehidupan nyata. Sebab, di balik perluasan kewenangan itu, tersimpan bahaya laten impunitas. Pelibatan TNI dalam urusan sipil tanpa pengawasan sipil yang kuat berpotensi melanggengkan tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Pelanggaran HAM bisa terjadi, dan sejarah sudah membuktikan, pelanggaran seperti itu seringkali menyasar mereka yang paling rentan, perempuan.

Selama lebih dari 30 tahun, Solidaritas Perempuan bergerak bersama perempuan akar rumput di berbagai wilayah, menyaksikan langsung bagaimana TNI sering kali hadir bukan sebagai pelindung, tapi sebagai ancaman. Dalam konflik-konflik agraria di Takalar, Palembang, hingga Poco Leok, TNI terlibat aktif dalam pengamanan proyek-proyek besar yang merampas tanah rakyat. Mereka yang melawan, termasuk perempuan, menghadapi intimidasi, kekerasan, bahkan kriminalisasi.

Menurut pengamatan Solidaritas Perempuan, proyek Food Estate di Kalimantan Tengah. TNI bukan cuma hadir sebagai penjaga, tapi ikut menentukan bibit apa yang ditanam, pupuk apa yang dipakai. Di Poso, aparat TNI bersenjata lengkap mendatangi rumah-rumah, memaksa perempuan menyerahkan tanahnya yang diklaim sebagai milik Bank Tanah. Di Makassar, TNI datang mengetuk pintu rumah warga, menginterogasi aktivitas harian mereka. Pertanyaannya, apa urusan tentara dengan dapur dan kebun warga?

Sumber Gambar: Kevin A/LPPM Parmagz

Aliansi Perempuan Indonesia (API), merawat ingatan bahwa perempuan kerap kali menjadi objek tindak Pelanggaran Ham Berat (PHB) oleh militer. Perempuan menjadi target kekerasan dalam operasi militer, termasuk kekerasan seksual, penyiksaan, serta pelecehan, yang dijadikan sebagai alat kontrol dan intimidasi. 

Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, seperti pemerkosaan dan penyiksaan di masa Daerah Operasi Militer (DOM) Papua, Aceh, dan Timor-Timor hingga kini tidak pernah di usut tuntas dan di adili. Sebab, Aparat keaman dan militer yang terlibat dalam kekerasan seksual serta pelanggaran HAM, kerap kali mendapatkan impunitas melalui peradilan militer yang tidak transparan.

Revisi UU TNI semakin mempersulit korban untuk mendapatkan keadilan karena memperkuat posisi militer dalam sistem hukum. Ruang hidup pun terancam, termasuk ruang-ruang perempuan yang tak lagi aman dari pengawasan dan intervensi militer. Demokrasi yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap jika kekuatan bersenjata diberi ruang tak terbatas tanpa pengawasan.

Yang lebih menyesakkan, pengesahan UU ini juga menegaskan bahwa negara lebih memilih mendengar suara militer daripada jeritan rakyat, lebih melindungi kepentingan kekuasaan daripada hak-hak perempuan atas tanah, tubuh, dan hidupnya. Kita sedang menghadapi kemunduran serius dalam demokrasi, dan perempuan ada di garda paling depan untuk merasakan dampaknya.

Pengesahan RUU TNI ini menandai babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia, yakni kembalinya militer ke panggung kekuasaan sipil secara legal. Namun lebih dari itu, ini adalah pengabaian terang-terangan terhadap hak perempuan, terhadap keadilan agraria, dan terhadap masa depan demokrasi itu sendiri. Ini adalah instrumen pengkhianatan terhadap reformasi, terhadap rakyat, dan terhadap masa depan. Dan perempuan, sekali lagi, menjadi korban dari negara yang lebih percaya pada senjata daripada suara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *