Penulis: Afiq Naufal
Ruang adalah narasi. Ia tidak hanya menjadi tempat berteduh, tetapi juga medium yang melibatkan gagasan, perasaan, dan tujuan. Henri Lefebvre dalam “The Production of Space” mengingatkan bahwa ruang bukan hanya elemen fisik, tetapi juga ruang sosial yang menghubungkan pengalaman dan makna. Kampus, sebagai ruang belajar, seharusnya lebih dari sekadar dinding-dinding kaca yang menjulang. Ia harus menjadi ruang yang melahirkan pikiran kritis, kenyamanan, dan keterhubungan.
Paramadina Cipayung, katanya, adalah kampus yang merepresentasikan masa depan. Gedungnya tinggi, penuh kaca, dan tampak modern dari kejauhan. Tapi ketika mendekat, narasi kemegahan itu segera runtuh. Hujan yang turun membawa realitas pahit: air merembes dari atap hingga ke lantai-lantai yang seharusnya terlindungi. Janji “green campus” seolah menjadi mitos; bagaimana mungkin kampus yang mengklaim keberlanjutan tidak mampu menghadirkan perlindungan paling mendasar dari cuaca?
Kantin adalah episentrum dari ketidaksempurnaan ini. Sebagai ruang kolektif di mana mahasiswa seharusnya bisa berkumpul, bertukar pikiran, dan menyegarkan diri, kantin justru menjadi sauna di siang hari. Atap plastiknya menyerap panas dan melepaskannya dengan intensitas yang membuat napas terasa berat. Dan saat hujan, tempat ini berubah menjadi genangan, bukti bahwa desainnya tidak memikirkan fungsi dasar. Lefebvre mengingatkan bahwa ruang diciptakan bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk dialami. Kantin ini, sayangnya, hanya berhasil menciptakan pengalaman yang menyiksa.
Parkiran motor pun tidak lepas dari cerita pilu. Lahan yang belum diaspal dipaksakan menjadi tempat parkir. Ketika musim hujan datang, tanah berubah menjadi lumpur. Kami, mahasiswa yang hanya ingin datang untuk belajar, harus melewati ujian kecil: bagaimana menjaga sepatu tetap bersih di medan yang membuat kaki seperti bermain lumpur di ladang. “Green campus”, katanya, tapi debu dan lumpur adalah teman sehari-hari kami.
Dan gedung yang megah itu, dengan kaca-kaca menghadap timur, menjadi perangkap panas di siang hari. Matahari masuk tanpa filter, dan ruang kelas seolah menjadi ruang pengap yang tak ramah. Gorden, bukannya menghadirkan teduh, malah diganti dengan spanduk yang tampak seadanya. Situasi ini bukan sekadar masalah estetika, tapi menunjukkan bagaimana ruang dirancang tanpa mempertimbangkan kenyamanan penghuninya.
Arsitektur modern sering kali terjebak dalam fetisisme visual, seperti yang diungkapkan oleh kritikus seni Juhani Pallasmaa dalam “The Eyes of the Skin”. Ia menegaskan bahwa ruang yang baik bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi juga apa yang dirasakan. Kampus ini seolah lupa bahwa fungsi dan kenyamanan adalah fondasi dari desain ruang belajar.
Sebagai mahasiswa, kami tidak hanya membutuhkan ruang yang terlihat indah, tetapi ruang yang mendukung perjalanan intelektual dan emosional kami. Kampus ini, dengan segala kekurangannya, gagal menjadi rumah. Rumah, seperti yang dijelaskan oleh Gaston Bachelard dalam “The Poetics of Space”, adalah tempat di mana kita merasa aman, nyaman, dan terhubung dengan makna. Namun di Paramadina Cipayung, kami hanya menemukan dinding dingin yang menjauhkan kami dari nilai-nilai yang dijanjikan kampus.
Lebih dari sekadar kritik, ini adalah panggilan. Paramadina bukan sekadar kampus. Ia adalah simbol dari pluralisme, kebebasan berpikir, dan kebesaran gagasan. Tapi bagaimana gagasan itu bisa hidup jika ruangnya saja menekan? Bagaimana mahasiswa bisa berfokus pada pembelajaran jika kantin bocor, parkiran berlumpur, dan tempat makan seperti oven di siang hari?
Ruang yang baik adalah ruang yang peduli. Ia tidak sekadar menjadi bangunan, tetapi menjadi cerminan dari nilai-nilai yang ingin diusungnya. Paramadina Cipayung, dengan segala potensinya, harus kembali ke esensi ini. Sebab kampus bukan sekadar dinding dan atap. Kampus adalah rumah. Dan rumah, seperti semua orang tahu, harus mampu merangkul penghuninya, bukan membuat mereka terasing.