Mahasiswa adalah Asshole

Tulisan ini diambil secara semena-mena dari zine Membakar Batas #1

Ya, tulisan ini adalah tulisan penyerangan. Dan siapapun yang merasa bahwa dirinya tersinggung merupakan pengakuan otomatis bahwa dirinya memang ASSHOLE, lubang pantat. Tak pantas memang saya berbicara seperti ini, namun setelah pembicaraan terakhir saya dengan seorang ‘aktivis kampus’ di Bandung, kota saya, saya merasa membicarakan sesuatu yang sangat menyampah tentang mahasiswa adalah sesuatu yang sangat wajar, karena mahasiswa ternyata memang ‘lubang pantat’.

Mahasiswa adalah panggilan kebanggaan, sebuah fase yang konon dapat melambangkan sebuah ‘tanggung jawab moral’ seorang pelajar atas masyarakat dimana ia tinggal. Mahasiswa, dalam mitos masyarakat kita, sejak zaman Budi Utomo tahun 60-an, dan terlebih sejak 98 lalu merupakan kata ajaib yang bisa mengundang penghormatan orang lain atas seseorang yang menamakan dirinya dengan istilah tadi. Namun dari situ juga mahasiswa pun bisa berarti tolol, goblok, dan idiot, dengan alasan yang sama. Dan itulah yang terjadi, itulah fenomena yang bisa kalian lihat di sekeliling kalian kalau kalian tak percaya.

Agen perubahan, diakui atau tidak oleh mereka sendiri, mahasiswa memang sangat bangga dengan label itu. Fakta berbicara, lepas dari ketololan mereka, pelatuk proses perubahan ditarik oleh mahasiswa. Maklum mereka kalangan yang paling banyak makan ‘pendidikan’. Budi Utomo mengorganisir dirinya sebagai gerakan intelektual yang dapat menjadi ancaman pemerintah kolonial, mahasiswa 60-an (terlepas dari kegoblokan mereka, sekali lagi, atas ketidakmampuan membaca politik elit yang menunggangi mereka) merupakan sebuah pergerakan masif. Dan begitu pula pergerakan mahasiswa pada tahun 70, 80-an hingga yang terakhir mahasiswa peruntuhan rezim Soeharto pada tahun 98. Ia selalu menjadi pemicu. Ia selalu menjadi awal dan berhenti di sana.

Ya, salah satu kemuakan atas ‘gerakan mahasiswa’ adalah mitos bahwa mereka adalah agen moral!!! Wow… Mitos ‘Gerakan Moral’ ini lah yang membuat kita berkali-kali membaca gerakan mahasiswa kembali pada hakikatnya: ‘gerakan lubang pantat’. Dalam catatannya, Soe Hok Gie seorang mahasiswa yang aktif dalam pergerakan di akhir 60-an, melukiskan bahwa mahasiswa itu seolah ‘koboi’. Datang ke suatu kota dimana ada bandit datang merampok, menumpas bandit tersebut, kemudian sebelum penduduk kota memberi penghargaan dan memuji-mujinya, sang koboi telah lenyap, pergi. Katanya koboi tak memerlukan penghargaan, ia hanya sebuah lambang moral menumpas kejahatan, bukan kendaraan yang bisa ditunggangi elit politik menuju kekuasaan. Ok, tepuk tangan kawan-kawan. Betapa tololnya mereka tanpa mereka sadari. Jadi koboi atau tidak, sejarah membuktikan bahwa pergerakan mereka ditunggangi elit politik. Sebagian menjadi ‘elit’, duduk dalam parlemen dan sisanya yang tidak terjebak (dengan siasat ‘koboi’ tadi tentunya, keluar permainan politik) tapi mereka justru menjadi elit itu sendiri, mengisolasi diri sok eksklusif, merasa dirinya berbeda dengan masyarakat lainnya. Dengan mencap gerakan mereka sebagai gerakan moral, mahasiswa sebenarnya juga melecehkan yang lainnya, yang terus berlangsung pasca Soeharto jatuh dan bikin rusuh terus sebagai gerakan tak bermoral. Dasar moralis, silahkan makan moral kalian itu!

Dan mitos ini berlangsung sampai sekarang!!! Pergerakan mahasiswa pada tahun 98 bisa menjadi contoh sempurna. Setelah Soeharto jatuh maka surutlah pergerakan itu, lenyaplah sang Lucky Luke. Disadari atau tidak, sebenarnya merekalah penyebab utama mengapa pergerakan mereka menjadi komoditas politik para elit. Dengan kaburnya sang koboi maka bisa dilihat sendiri akibatnya. Ya, mahasiswa memang lubang pantat, bisanya cuman ‘buang tai’ dan pergi (istilah mereka ‘kembali ke kampus’). Mereka lebih memilih ‘gerakan moral’, mereka tak ternodai daripada bersusah-susah bercampur dengan rakyat lainnya mengorganisir perlawanan bersama. Mereka memilih cabut dari medan dan secara tidak langsung menyerahkan kepemimpinan di tangan para elit politik semodel Amien Rais dan Megawati.

Mahasiswa selalu berpikir bahwa dengan sikap demikian mereka dapat ‘mensucikan’ pergerakan mereka. Kembali ke menara gading untuk dipuji-puji masyarakat sebagai koboi yang akan datang lagi jika ‘sang bandit muncul lagi’. Maksud mereka untuk tak menghadirkan puja-puji justru salah besar, bisa dilihat betapa hebatnya euforia yang ditimbulkan di kalangan mereka sendiri, berapa ratus judul buku yang memuat khusus tentang mereka, berapa banyak orang tua yang kepingin anaknya cepat jadi ‘mahasiswa’ dan berapa banyak wawancara di tabloid dengan tokoh-tokoh mahasiswa, berapa banyak televisi yang menghadirkan mahasiswa sebagai peran kritis dalam debat tersebut, bluuuuuaaaaaaaaaahh…..

Awalnya, saya pikir ini hanya mewabah bagi sebagian mahasiswa saja, mereka-mereka yang berpandangan moderat, konservatif, dan oportunis saja. Namun ternyata dugaan saya salah. Mereka yang mengaku kiri dan ‘revolusioner’ pun ternyata wataknya sama saja. Bayangkan ada yang ditanya mengapa mereka aksi-aksian, demo segala rupa, jawabannya simple: karena pemerintah sekarang jelek saja atau pemerintah yang sekarang harus digulingkan dan tak peduli bentuk pengganti apa selanjutnya yang akan menggantikan. Atau mereka terkadang hanya memenuhi fantasi mereka untuk menjadi revolusioner, menjadi Che Guevara tanpa tahu apa yang harus direvolusi. Mereka pikir dengan membaca Tan Malaka selesai sudah tugas ‘vanguard’ mereka dan waktunya turun ke praksis tanpa harus menoleh lagi apa yang ia baca, sehingga ketika ada yang mengkritik mereka, mereka ngadat habis-habisan. Tetapi begitulah watak asli mereka karena mereka dimistifikasi sebagai ‘yang paling’ maka mereka tak akan pernah mengakui kebenaran lain yang keluar dari mulut yang bukan mahasiswa. Dan secara keseluruhan mahasiswa pada dasarnya sama saja, arogan, sok intelektual, sok reformis/revolusioner dan terlalu banyak basa basi tak perlu. Yang lebih menggelikan lagi sebenarnya mahasiswa antarkampus, antarorganisasi, sering berbentrokan dengan beragam alasan: gara-gara bola, gara-gara cewek, sampai rebutan massa.

Tunggu, itu baru satu sisi saja. Itu baru dilihat dari alasan mereka ‘koboi-koboian’ sambil petantang-petenteng mengusung dada, nih saya ‘agen perubahan’. Sisi lainnya yang tak kalah memuakkan adalah ketika mereka (mahasiswa tentunya) terjebak ke dalam perangkap stereotip yang ditawarkan era modern ini. Mitos ‘spesialisasi’. Mahasiswa lupa bahwa dirinya sebenarnya tak beda dengan ‘spesialisasi’ lainnya di masyarakat ini; ditindas dan dibodohi, hanya saja mereka akan sangat tidak mengakuinya jika ditanya tentang hal ini. “Tugas mahasiswa adalah belajar”, maka belajarlah mahasiswa itu tanpa tahu untuk apa ia belajar. Lho, kata siapa? Mahasiswa tahu ia belajar untuk masa depan. Ya betul, itu dia masalahnya…. Ia tak pernah menyadari bahwa dirinya adalah bagian terpenting dari masyarakat industri ini. Dia belajar dengan ketekunan penuh untuk lulus dan setelah wisuda ia berharap dapat kerja di perusahaan besar, cari duit buat kawin dan cepat-cepat kaya sebelum mati. Dan sekali lagi disitulah masalahnya. Mereka tak pernah mau tahu, untuk sekadar membicarakannya saja pasti mereka akan berargumen bahwa “…ya itu kondisi paling nyata…mau apa lagi?” Mereka pikir yang mereka lakukan adalah yang paling natural, memang kodratnya begitu, dan jalan begitu saja.

Boro-boro ditawarkan wacana tentang mereka sebagai garda depan regenerasi ‘pabrik buruh’ kapitalisme modern. Untuk mengawali pembicaraan pun biasanya akan berakhir dengan kalimat “….aaahh, elu mah terlalu mempolitisir…” Ah itulah; persis sekali… Mungkin ini adalah contoh bahwa kampus sebenarnya refleksi dari apa yang terjadi diluar sana, tak heran jika diluar sana, masyarakat masih memisahkan politik dengan kehidupan sehari-hari karena yang ‘paling intelektual’ sekalipun memang berpendapat begitu. Mereka tak pernah menyadari apa dan sebelah mana politisnya peran mereka itu. Damn…what a fucked-up society!!!! Tak heran pula jika mereka selalu memperlakukan aktivisme ini sebagai profesi seperti Fajrul Rahman, dimana daftar-daftar nasib mereka sebagai aktivis bisa di daftar selayaknya Curriculum Vitae untuk mendapatkan pekerjaan bukan sebagai suatu usaha yang merubah dunianya sendiri secara totalitas. Aktivisme bagi mereka adalah profesi, pekerjaan, spesialisasi lainnya. Cadangan jika mereka gagal dalam kuliah (di D.O misalnya) maka daftar tadi bisa jadi surat lamaran untuk melanjutkan karir mereka.

Mahasiswa adalah asshole, dan seperti asshole yang lainnya, mereka tak akan pernah mengakuinya. Dan seperti lubang pantat lainnya, akan selalu ‘buang tai’ dan menghujat balik setiap penghinaan dan serangan yang ditujukan kepadanya. Dan terakhir ini salah satu kasus terakhir (ingat hanya salah satunya saja) yang paling memalukan bagi mereka. Terjadi ketika mereka mengompori seorang anak jalanan yang berdandan ‘punk’ dalam sebuah forum diskusi. Dengan sikap standar mereka, arogan, mereka memulainya dengan menanyakan “ngapain lu disini?”. Seperti ‘lubang-lubang pantat’ lainnya mereka selalu menjadikan keresahan dan ketidaksetujuan mereka terhadap kata “anarkisme” sebagai objek utama diskusi dan objek utama ‘pengetesan’. Dan kebetulan emblem yang dipakai seorang punk tadi sangat menarik perhatiannya. Tanpa basa-basi lagi ia langsung menanyakan pertanyaan super klasik, “lho, kalau terjadi anarki apa jadinya negeri tercinta ini?”.

Hmmm, tak heran kenapa para komandan lapangan aksi-aksi mahasiswa sering berteriak, “JANGAN ANARKI, jangan terpancing provokator!!!” pada setiap gejala-gejala rusuh. Mereka memang asshole, tak perlu disalahkan.

Kampus sebagai tempat godog ilmiah terbukti gagal. Selama mahasiswa bisa mengakses situs-situs bokep (pornografi) namun tak bisa memahami anarkisme yang banyak bertebaran di internet DAN MASIH SAJA mempertanyakan anarkisme sebagai istilah, sebaiknya semua universitas dibubarkan saja. Ahh… terlalu panjang daftar ketololan ini untuk dibahas satu persatu. Di daerah-daerah lain selain Bandung, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang beredar cerita versi lain yang lebih buas lagi. Pernah dengar cerita tentang mahasiswa Makassar yang petantang-petenteng pake jaket almamater, super-arogan, mencerca semua orang yang berpandangan politik berbeda dengan dia tanpa alasan objektif? Atau pernah dengar cerita mahasiswa yang mengusir non-mahasiswa keluar kampus ketika terjadi aksi disekitar kampusnya? Atau pernah dengar cerita mahasiswa jadi pedagang sapi, memperdagangkan massa-nya biar dapet duit tambahan kuliah? (eh, itu cerita klasik kan?) Saya punya usul. Bagaimana kalau kita bikin sama-sama buku anekdot mahasiswa reformis atau kumpulan cerita-cerita tolol tentang mahasiswa sang intelektual, gimana?

Hahaha… Mitos… Mitos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *