Universitas Paramadina Cipayung Kehilangan Identitas Keparamadinaannya

Penulis: Afiq Naufal

Ketika Nurcholish Madjid atau Cak Nur mendirikan Universitas Paramadina, beliau tidak hanya bermimpi tentang sebuah kampus yang menghasilkan lulusan berijazah semata. Universitas Paramadina dirancang sebagai ruang yang menanamkan nilai-nilai luhur: moderasi, pluralisme, dan keilmuan yang berlandaskan iman dan kebijaksanaan. Namun, seperti pohon yang kehilangan akarnya, Paramadina hari ini tampak menjauh dari esensi pendiriannya. Identitas keparamadinaan yang dahulu menjadi landasan kini memudar, tergantikan oleh semangat korporasi dan pragmatisme yang menyesakkan.

Cerminan perubahan ini paling jelas terlihat di kampus baru Paramadina di Cipayung. Kampus yang megah dan modern ini, meskipun mengundang decak kagum secara visual, lebih menyerupai perkantoran daripada sebuah universitas yang memiliki cita-cita besar dalam membangun peradaban. Bangunan itu mungkin menandakan kemajuan fisik, tetapi di balik dinding-dindingnya, roh keparamadinaan tampak semakin redup. Paramadina kini lebih sibuk dengan angka-angka akreditasi, jumlah mahasiswa, dan pencapaian administratif lainnya yang terukur dalam tabel Excel.

Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk apa semua target itu jika jiwa keparamadinaan menguap? Ketika segala sesuatu hanya diukur dari akreditasi, reputasi, dan laba, nilai-nilai pendidikan sebagai proses pembentukan manusia utuh terpinggirkan. Pidato pendirian Paramadina yang ditulis oleh Cak Nur jelas menekankan bahwa universitas ini bukan sekadar ruang akademis, tetapi tempat di mana ilmu, iman, dan kebijaksanaan bersatu demi membentuk manusia yang berintegritas dan berkomitmen terhadap kebaikan.

Namun, dalam kehidupan kampus hari ini, diskusi-diskusi yang menyentuh inti nilai-nilai tersebut semakin jarang terdengar. Mahasiswa lebih sibuk mengejar nilai dan kompetisi, tanpa memahami esensi keparamadinaan yang seharusnya menjadi pembeda Universitas Paramadina dari institusi lain. Dosen dan civitas akademika pun tampak tidak lagi memiliki ruang untuk memperdebatkan, mendiskusikan, atau sekadar menghidupkan kembali gagasan-gagasan besar Cak Nur. Seolah-olah nilai-nilai keparamadinaan hanya menjadi hiasan sejarah tanpa relevansi bagi generasi sekarang.

Salah satu masalah besar yang dihadapi kampus ini adalah orientasi yang semakin korporat. Kampus Cipayung dengan segala fasilitas modernnya lebih mencerminkan institusi bisnis daripada universitas yang dibangun untuk mencetak pemikir besar dan pemimpin yang memiliki wawasan kebangsaan serta nilai-nilai kemanusiaan. Ketika mahasiswa asing datang dan belajar di Paramadina, mereka tidak dibekali pemahaman mendalam tentang nilai-nilai keparamadinaan. Tidak ada upaya sistematis untuk menjadikan kampus ini sebagai mercusuar intelektual yang memperkenalkan pluralisme dan moderasi kepada dunia.

Ironi terbesar dari semua ini adalah hilangnya keberanian kampus untuk mempertahankan visi pendirinya di tengah dinamika modern. Universitas Paramadina kini terjebak dalam pola pikir mengejar hasil instan, seperti halnya korporasi yang hanya memikirkan laba tanpa memedulikan dampak jangka panjang. Padahal, nilai-nilai keparamadinaan, jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, justru dapat menjadi solusi bagi tantangan dunia pendidikan saat ini yang semakin terjebak dalam materialisme.

Paramadina adalah simbol dari harapan untuk menciptakan masyarakat yang berpikir, beriman, dan berkeadilan. Namun, tanpa usaha untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ini, universitas ini berisiko kehilangan relevansinya. Sebagai institusi yang didirikan dengan semangat pembaruan, Paramadina harus kembali merefleksikan posisinya: Apakah ia ingin menjadi sekadar pemain di pasar pendidikan tinggi, ataukah ia ingin tetap menjadi mercusuar nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang mampu memengaruhi masyarakat secara lebih luas?

Sebagai langkah awal, kampus ini harus kembali kepada akar nilai-nilainya. Pidato pendirian Cak Nur harus diangkat kembali, bukan sebagai teks sejarah yang mati, tetapi sebagai panduan hidup. Kurikulum, kegiatan mahasiswa, dan pengelolaan kampus harus diarahkan untuk menghidupkan kembali semangat intelektual yang menjadikan Paramadina unik. Tanpa itu, Universitas Paramadina hanya akan menjadi sekadar institusi pendidikan lainnya—megah secara fisik tetapi kosong secara spiritual.

Dalam dunia yang semakin tergila-gila pada pencapaian material, Paramadina seharusnya menjadi alternatif yang menawarkan pandangan hidup yang lebih bermakna. Namun, jika situasi ini terus berlanjut, Paramadina akan kehilangan jiwanya. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya mahasiswa atau dosen yang kehilangan sesuatu, tetapi seluruh masyarakat Indonesia akan kehilangan salah satu simbol perjuangan untuk menjadikan pendidikan sebagai jalan untuk memperbaiki peradaban.

Jika Universitas Paramadina terus berjalan di jalur ini, ia akan kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada akreditasi atau reputasi internasional: jiwa keparamadinaan. Institusi ini akan berubah menjadi sekadar “mesin penghasil lulusan,” tanpa ruh atau semangat yang membedakannya dari universitas lain. Kritik ini seharusnya menjadi bahan refleksi mendalam bagi kepemimpinan kampus. Sudah saatnya Universitas Paramadina kembali kepada esensi nilai-nilainya, memperkuat diskusi intelektual, dan menjadikan keparamadinaan sebagai pusat dari setiap kebijakan dan aktivitas.

Seperti yang ditulis Cak Nur dalam pidato pendiriannya, universitas ini adalah tempat di mana iman, ilmu, dan kebijaksanaan bersatu. Jika itu hilang, Paramadina bukan lagi Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *