Penulis: Tubagus Eko Saputra
Pada Kamis, 27 Maret 2025, kembali terjadi aksi di Jakarta. Seperti aksi sebelumnya, aksi ini diinisiasi oleh masyarakat sipil, mahasiswa, dan buruh. Aksi dimulai pada pukul 16.00 WIB. Sebelumnya, massa aksi berkumpul di depan TVRI sejak pukul 14.00 WIB dan melakukan long march sekitar pukul 15.30 WIB.
Meskipun aksi diselenggarakan pada hari libur Lebaran, hal itu tidak menghalangi antusias massa untuk menyuarakan tuntutannya. “Keren banget. Keren banget gitu loh. Kayak semua orang tergerak, padahal punya banyak batasan sekali. Orang udah mau mudik, orang lagi puasa segala macam. Pada akhirnya itu tidak menghentikan apapun dan massa terus berdatangan,” ungkap Ferry Irwandi dari Malaka.
Aksi berjalan tanpa menggunakan mobil komando sebagai pengeras suara, melainkan hanya menggunakan megaphone. Mobil komando dinilai menghambat dan membuat psikologis massa tidak menentu. “Kita perlu taktik baru dan memikirkan itu, mobil komando terkadang malah bikin gak satu komando, selain itu yang di atas mokom juga terkadang tidak jelas,” ucap Mahesa, salah satu peserta aksi.
Massa aksi menilai bahwa proses pengesahan RUU TNI bermasalah, mulai dari tidak adanya transparansi dan partisipasi publik, hingga berpotensi mengembalikan Indonesia kembali ke Orde Baru. “Sebenarnya yang paling meresahkan dari beberapa pengesahan undang-undang yang terjadi adalah proses, prosedurnya dulu. Kita belum bicara isinya nih, tapi contohnya aja bagaimana konsepnya. Rancangan undang-undang yang sudah disahkan menjadi undang-undang, tidak ada draft yang bisa diakses di website resmi DPR sampai hari ini dan ini sudah berhari-hari dari pengesahan. Jadi kita sekarang juga sebenarnya mau mengkritik pun agak khawatir karena kita gak tau nih draft yang kita pegang itu bisa diklaim sebagai draft undang-undang tersebut atau tidak. Dan yang beberapa kali sudah terjadi adalah ketika ada draft yang tayang di website resmi, itu ternyata beda dengan draft terakhir yang orang-orang lihat,” ujar Cania Citta dari Malaka. Ia juga menjelaskan soal keresahan masyarakat terkait RUU TNI.
Sepakat dengan yang dikatakan oleh Cania, Nadya, seorang mahasiswi UI yang mengikuti aksi, menyampaikan bahwa, “Secara sosiologi pun, revisi UU TNI ini menyentil kembali trauma masa lalu para masyarakat sipil yang pernah merasakan pahit getirnya kehidupan pada masa Orde Baru, di mana pada masa itu banyak TNI yang terlibat dalam urusan sipil, seperti sosial-politik hingga ekonomi-bisnis. Jadi, RUU TNI ini bisa dibilang sebuah jalan kepentingan suatu kelompok sehingga tidak perlu disahkan di negara demokrasi, khususnya Indonesia.”

Eskalasi demonstrasi mulai meningkat sekitar pukul 17.12 WIB, ketika pihak kepolisian menghalau massa yang mencoba menjebol pagar gedung DPR RI dengan menggunakan water cannon. “Perusakan pagar untuk dijebol itu jangan dimaklumi sebagai tindakan anarkis, itu adalah ekspresi dari kemarahan masyarakat, kemarahan publik,” ujar Rinto, seorang masyarakat sipil.
Rinto menegaskan bahwa perusakan yang dilakukan massa aksi adalah pilihan yang memungkinkan untuk mereka lakukan. “Ya karena memang tidak banyak pilihan, kan mereka tidak mungkin kemudian melakukan kekerasan langsung kepada DPR atau siapapun, ataupun sejenisnya seperti menggunakan guillotine di Perancis. Gitu kan tidak aksesibel, untuk melakukan itu mereka harus masuk dulu ke DPR, harus tarik DPR, harus berlawanan dengan polisi, tidak aksesibel,” tambah Rinto dengan nada tegas.

Sekitar pukul 18.40 WIB, pihak kepolisian mulai melakukan pemukulan untuk memaksa massa aksi mundur, dengan membentuk barikade yang didukung oleh kendaraan taktis seperti water cannon. Massa aksi berlarian dengan panik, sebagian massa lari ke seberang jalan melewati JPO.
Suasana di JPO begitu sesak dan massa aksi saling dorong ketika melewatinya, sebab aparat turut mengejar mereka sampai ke ujung JPO tersebut. Beberapa massa aksi yang mencoba kabur melalui JPO juga menjadi korban represifitas para aparat yang mengejar.
Selain kabur melewati JPO, massa aksi juga banyak yang kabur ke arah Senayan Park. Ironisnya, massa aksi yang kabur ke arah tersebut banyak yang menjadi korban represifitas hingga diculik oleh aparat, sebab para aparat juga telah berjaga di bawah Fly Over Senayan Park. Tidak sedikit dari massa aksi yang mengalami luka-luka akibat tindakan represif dari aparat.
Banyak pihak yang mengecam keras tindakan represifitas aparat yang menjaga aksi. Masyarakat sipil menilai mereka yang seharusnya menjaga keamanan jalannya aksi demonstrasi, tetapi mereka justru bertindak sewenang-wenang. Tindakan represif terhadap para demonstran adalah tindakan yang mencederai nilai-nilai demokrasi di negara ini.