Militerisme Mengangkang Lebar di Kampus

Penulis: Arya Pramudita

Apakah membahas mengenai militerisme harus selalu dalam skala besar seperti negara? Atau justru kita perlu berpikir lebih kritis dalam lingkungan terdekat, seperti kampus? Militerisme bukan sekadar kebijakan negara, tetapi juga cara berpikir dan bertindak yang bisa tertanam dalam individu maupun kelompok. Sering kali, kita tidak sadar bahwa standar kedisiplinan, kerapian, dan perilaku di ruang pendidikan meniru model “abdi negara”. Kita dituntut berpenampilan necis, dan di masa sekolah, rambut yang paling aman dari razia adalah model cepak. Mengapa tuntutan sosial ini muncul?

Secara definisi, militerisme adalah kumpulan prinsip yang menjadi pedoman militer dalam mencapai tujuan keamanan nasional. Namun, doktrin ini sering merembes ke aspek lain, termasuk pendidikan. Dalam konteks diskusi hangat mengenai UU TNI, kita perlu menelaah bagaimana doktrin militer ini bertahan dalam sistem kampus. Sering kali, elemen-elemen seperti kedisiplinan, kepatuhan, serta hierarki diterapkan dengan cara yang menyerupai praktik militer. 

Doktrin Militerisme dalam Kaderisasi Kampus

Apakah ada doktrin militerisme di kampus kita? Pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir dan kreativitas, justru mereplikasi pola-pola otoriter. Ironisnya, kita kuliah bukan untuk menjadi tentara, tetapi lingkungan kampus tetap mempertahankan budaya kepatuhan tanpa kritik.

Salah satu contoh konkret adalah kegiatan kaderisasi seperti GMP (Grha Mahardika Paramadina) dan PLC (Paramadina Leaders Camp). Dalam pelaksanaannya, aturan dan kedisiplinan ditegakkan dengan cara yang mengadopsi gaya militer. Divisi kedisiplinan sering kali menggunakan nada tinggi, bahkan membentak mahasiswa baru. Apakah ini cara yang efektif dalam mendisiplinkan individu?

Dalam pengalaman GMP 2022, panitia kedisiplinan membacakan aturan yang harus ditaati peserta hanya satu kali tanpa ruang diskusi. Saat sesi tanya jawab dibuka, hanya tiga orang yang diperbolehkan bertanya. Ketika saya menanyakan mengapa aturan ini harus ditaati tanpa ada kesepakatan peserta, pertanyaan saya disambut riuh tepuk tangan. Namun, alih-alih mendapat jawaban rasional, saya justru disambut dengan intimidasi dari Dewan Kaderisasi. Situasi ini menunjukkan bahwa ruang-ruang akademik kita masih jauh dari prinsip demokrasi.

Kaderisasi semacam ini terus berlangsung hingga GMP 2024 dimana peserta didisiplinkan dengan pola dominasi kontrol, tanpa ada refleksi dari panitia. Bahkan, modul kaderisasi hanya dijalankan secara turun-temurun tanpa evaluasi kritis. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir yang diwariskan adalah kepatuhan buta, bukan pemahaman yang mendalam tentang kepemimpinan dan kedisiplinan.

Penindasan seperti di atas juga terjadi dalam PLC 2024. Salah satu momen yang sangat mencerminkan militerisme adalah sesi makan. Dalam sesi ini, peserta diinstruksikan untuk makan dengan pola komando seperti dalam pendidikan militer. Mereka harus makan secara seragam, mengikuti perintah panitia, dan tidak diperbolehkan menyentuh makanan sebelum diberikan aba-aba. Kaderisasi seperti ini jelas meniru metode pendidikan militer, di mana disiplin dan kepatuhan sangat ditekankan di atas segalanya, bahkan dalam hal yang seharusnya menjadi momen relaksasi seperti makan. Bukankah kampus seharusnya mengajarkan kebebasan berpikir dan bertindak secara mandiri, bukan sekadar kepatuhan buta?

Menurut Freire, “pendidikan yang otoriter” di mana peserta didik tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan adalah bentuk penguasaan yang menghilangkan kapasitas kritis individu. Model ini justru menumbuhkan ketakutan dan ketaatan buta, yang lebih mencerminkan budaya militeristik daripada budaya akademik. Terdapat sesi makan yang dilakukan dengan pola komando, menyerupai cara pendidikan militer, di mana peserta disuruh makan dengan urutan dan tata cara yang sudah ditentukan tanpa ada ruang bagi mereka untuk memilih atau mempertanyakan. Hal ini mengingatkan kita pada konsep Freire mengenai “dehumanisasi” dalam pendidikan, di mana individu tidak diperlakukan sebagai subjek yang berdaya, melainkan hanya sebagai objek yang harus mengikuti perintah.

Meskipun itu hanya hal yang dianggap sepele, bagi saya yang hidup dalam pertanyaan wacana masyarakat demokratis, ini adalah pertanyaan besar. Karena ternyata hal-hal seperti itu terus hidup sampai GMP 2024, di mana penulis mengkritisi pola kaderisasi GMP yang masih saja ada intrik banal militerisme dalam pelaksanaan teknisnya. Tapi ketika dipertanyakan kenapa hal itu ada dalam pola kaderisasi, yang menjadi panitia sendiri tidak mampu menjawab ataupun memiliki dasar atas jalannya teknis kaderisasi, bahkan tidak pernah menyentuh secara kritis modul kaderisasi yang dibuat Dewan Kaderisasi sebelumnya. Itu adalah tindakan serampangan dan prematur bagi penulis, ketika kaderisasi hanya dianggap sebagai program wajib yang harus dilaksanakan tanpa esensi yang jelas secara turun-temurun. Hal-hal di atas itu tidak hanya terjadi di GMP, tetapi juga terjadi di beberapa kaderisasi himpunan jurusan.

Militerisme dalam Relasi Kuasa di Kampus

Militerisme di kampus tidak hanya tercermin dalam kaderisasi, tetapi juga dalam relasi kuasa yang lebih luas. Dalam bukunya Negeri Para Jenderal, Petrik Matanasi menjelaskan bahwa sejak era Orde Baru, kampus-kampus di Indonesia mengalami intervensi dari rezim militer, baik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) maupun mekanisme kaderisasi yang meniru struktur militer. Pola ini masih bertahan, baik dalam bentuk kepemimpinan otoriter dalam organisasi mahasiswa, ospek yang menekankan hierarki ketat, maupun interaksi kaku antara dosen dan mahasiswa.

Selain itu, dalam kajian sosiologi pendidikan, Pierre Bourdieu menjelaskan konsep habitus dalam dunia pendidikan, di mana norma dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi akan terus direproduksi tanpa disadari. Dalam konteks kampus Paramadina Cipayung, hal ini dapat dilihat dari bagaimana sistem kaderisasi dan aturan kampus cenderung mempertahankan pola-pola otoriter yang menekan kebebasan berpikir.

Di Paramadina Cipayung, penerapan doktrin ini semakin terasa dengan pengawasan ketat dari satpam kampus. Mahasiswa sering menghadapi aturan baru yang tidak ada di kampus sebelumnya di Gatot Subroto. Jika dulu kampus menjadi ruang yang nyaman untuk berdiskusi dan berkreativitas, kini atmosfernya berubah menjadi lebih represif. Satpam kerap kali bertindak sewenang-wenang layaknya penjaga pabrik atau sipir penjara, yang lebih fokus mengawasi dan menindak mahasiswa dibanding menciptakan rasa aman dan nyaman.

Contoh lain dapat dilihat dari perbedaan pendekatan satpam kampus antara Kampus Paramadina Gatot Subroto dan Cipayung. Di Gatot Subroto, mahasiswa dan satpam bekerja sama menciptakan lingkungan yang nyaman. Namun, di Cipayung, interaksi lebih cenderung represif. Beberapa mahasiswa bahkan mengeluhkan peraturan baru yang tiba-tiba diberlakukan tanpa sosialisasi yang jelas. Pola pendekatan ini mengingatkan kita pada sistem komando yang lebih mengutamakan kepatuhan daripada komunikasi.

Pernahkah Anda merasa dipermalukan di depan umum hanya karena melakukan sesuatu yang dianggap sepele? Habib, seorang teman saya, pernah mengalami hal itu beberapa  lalu. Ketika dia sedang duduk santai di depan zona merokok (kantin) kampus, Hanya kantin lah yang secara resmi memang diperbolehkan untuk menjadi zona merokok, seorang staf kampus mendekatinya dan mulai membentaknya keras-keras. “Mas rokoknya woi rokok! Kenapa kamu tidak mematuhi aturan?” Bentakan itu menggema di tengah keramaian, membuat Habib yang biasanya tenang, merasa seperti seorang pelanggar besar yang dihukum di depan umum. Meskipun sebenarnya dia sedang merokok di tempat yang seharusnya dilarang, respons yang dia terima justru lebih keras daripada yang seharusnya.

Habib merasa dipermalukan, namun setelah kejadian itu, dia mulai bertanya-tanya, mengapa perilaku seperti itu diterima begitu saja? Apa yang membuat seseorang bisa memperlakukan orang lain dengan cara seperti itu di ruang publik? Apakah ini hanya soal aturan kampus atau ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah budaya yang menuntut kepatuhan mutlak, tanpa ruang untuk pertimbangan atau pemahaman?

Militerisme sering kali dianggap hanya sebagai kebijakan negara yang terkait dengan angkatan bersenjata, tetapi ternyata ia adalah suatu cara berpikir dan bertindak yang dapat meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Ketika kita berbicara tentang militerisme di kampus, kita tidak hanya bicara soal struktur negara, tetapi tentang bagaimana doktrin militer ini juga diterapkan dalam bentuk kedisiplinan yang ketat, norma yang menuntut keseragaman, dan pola pikir yang mendorong kepatuhan tanpa ruang untuk kebebasan individu.

Aturan tentang larangan merokok di kampus mungkin terlihat sederhana, namun cara penegakan hukum yang keras dan tanpa ruang untuk diskusi atau penjelasan bisa menciptakan atmosfer yang mengingatkan kita pada pola pikir militer. Sama seperti dalam dunia militer, di mana setiap individu dituntut untuk patuh pada perintah tanpa pertanyaan, kampus seringkali mengajarkan kita untuk mengikuti aturan secara kaku, bahkan ketika tidak selalu ada konteks yang jelas.

Habib, yang hanya ingin menikmati rokok di tempat yang menurutnya tidak terlalu mengganggu, tidak hanya diperlakukan sebagai seorang pelanggar, tetapi juga dihukum tanpa pertimbangan. Inilah yang menjadi pertanyaan penting: apakah kita sudah terlalu terbiasa dengan cara berpikir yang menekankan kedisiplinan dan kepatuhan tanpa ruang untuk pertanyaan atau perbedaan? Apa yang terjadi ketika budaya militerisme ini memasuki ruang kampus, dan bagaimana kita bisa mulai berpikir lebih kritis tentang dampaknya terhadap kebebasan kita sebagai individu?

Selain Habib, ada juga teman yang lain, sebut saja Agus, mengalami hal itu beberapa waktu lalu. Ketika sedang berjalan di sekitar taman kampus, dia tanpa sengaja menginjak rumput yang ada di salah satu sudutnya. Tiba-tiba, seorang staf kemahasiswaan yang terlihat kesal berteriak ke arahnya dan mulai memarahinya dengan suara keras. “Hei itu rumput jangan diinjak! Ini area yang nggak boleh diinjak! Kamu mau merusak taman ini?” Bentakan itu datang begitu cepat dan keras, sehingga Agus hanya bisa terdiam, merasa malu di hadapan teman-temannya.

Padahal, rumput itu sering diinjak saat ada acara kampus, bahkan tak jarang digunakan sebagai tempat duduk atau tempat berjalan bagi banyak orang. Namun, seolah-olah Agus menjadi satu-satunya yang melanggar aturan, yang tentu saja terasa sangat tidak adil baginya. Saat dia mencoba menjelaskan, staf tersebut tak memberi kesempatan untuk berdiskusi dan malah menegaskan bahwa aturan tetap harus diikuti tanpa alasan lebih lanjut.

Agus mulai menyadari bahwa kejadian tersebut bukan hanya tentang rumput atau melanggar aturan kecil, tetapi juga tentang bagaimana cara berpikir yang disiplin dan tanpa ruang untuk pertanyaan mulai mengakar di lingkungan kampus. Tuntutan untuk patuh, tanpa memedulikan konteks atau alasan di balik tindakan, mulai terasa seperti pola pikir yang meniru doktrin militer.

Menciptakan Kampus yang Bebas dari Militerisme

Kita perlu bertanya apakah cara mendisiplinkan dengan mendominasi dan menanamkan rasa takut adalah satu-satunya cara efektif? Bahkan Tuhan saja kadang tidak ditaati oleh manusia, apalagi aturan buatan manusia. Kepatuhan seperti apa yang kita inginkan? Kedisiplinan seperti apa yang mencerminkan identitas intelektual?

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang kebebasan berpikir dan berekspresi, bukan tempat menanamkan mentalitas kepatuhan tanpa kritik. Jika kita terus membiarkan praktik-praktik militerisme ini tanpa evaluasi, kampus akan kehilangan fungsinya sebagai ruang demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mempertanyakan dan mengkritisi setiap praktik yang mencerminkan doktrin militer di lingkungan akademik. Jika tidak, kita hanya akan melanggengkan budaya otoriter yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berpikir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *