Idul Fitri 1930 Ketika Lebaran Di Indonasia Tak Lagi Penuh Sukacita

Penulis : Mahaversa Kaliandra

Malam takbiran itu seharusnya penuh dengan kebahagiaan. Bedug bertalu-talu, takbir berkumandang dari masjid ke masjid, dan rumah-rumah mulai menyiapkan hidangan khas Lebaran. Namun, di tahun 1930, suasana Idul Fitri di Hindia Belanda jauh dari kata meriah. Ada ketakutan yang menyelimuti, ada kelaparan yang mengintai, dan ada amarah yang mulai membara.

Suasana Hari Raya Idul Fitri di Desa Cisurupan, Garut, sekitar tahun 1935 / Sumber Gambar : Facebook – Sejarah Nusantara

Pada dekade 1930-an, dunia dilanda Depresi Besar yang menghancurkan ekonomi global. Hindia Belanda, yang saat itu masih menjadi koloni Belanda, tak luput dari dampaknya. Harga komoditas ekspor seperti kopi, karet, dan gula anjlok drastis, membuat banyak buruh kehilangan pekerjaan. Di desa-desa, sawah kerinHomeg karena musim yang tak menentu, sementara di kota, pengangguran meningkat.

Sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Riwayat Tionghoa Peranakan di Indonesia mencatat bahwa kondisi ekonomi saat itu begitu buruk sehingga rakyat kecil kesulitan mendapatkan makanan. Bukan hanya tidak bisa membeli baju baru atau kue Lebaran, banyak keluarga bahkan tak mampu menyediakan nasi di meja mereka.

Bagi masyarakat pribumi, Lebaran tahun itu tak seperti biasanya. Jika biasanya pagi Idul Fitri diawali dengan senyum dan baju terbaik, kali ini banyak yang berangkat sholat Id tanpa alas kaki dan dengan perut kosong. Seorang saksi sejarah yang diwawancarai oleh antropolog Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 menggambarkan situasi di desa-desa sebagai “seperti hidup di bawah bayangan maut.”

Di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, orang-orang berdesakan di pasar mencari bahan makanan murah. Namun, harga-harga terus meroket. Ada yang terpaksa mengutang kepada rentenir, ada yang mengandalkan derma dari masjid, dan ada pula yang akhirnya mencuri demi bertahan hidup. Sungguh kontras dengan makna Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kebersamaan.

Tak hanya soal ekonomi, Idul Fitri 1930 juga diwarnai oleh ketegangan sosial dan politik. Kelompok-kelompok pergerakan nasional mulai semakin vokal menentang kebijakan kolonial yang semakin menekan rakyat. Sarekat Islam dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mengkritik pemerintah Belanda yang lebih mementingkan kepentingan perusahaan asing dibanding kesejahteraan pribumi.

Pelaksanaan Salat Idul Fitri di Waterlooplein (Lapangan Waterloo), Batavia (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta)

Di beberapa daerah, ketegangan ini meledak menjadi aksi protes yang berujung pada bentrokan dengan aparat kolonial. Laporan dalam arsip kolonial yang dikutip oleh sejarawan Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land menyebutkan bahwa menjelang Idul Fitri, beberapa kelompok buruh dan petani menggelar demonstrasi di berbagai kota. Sayangnya, banyak dari aksi ini dibalas dengan penangkapan dan kekerasan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Idul Fitri 1930 menjadi bukti bahwa bahkan di hari yang seharusnya penuh kegembiraan, sejarah mencatat kisah kelam rakyat yang berjuang di tengah krisis. Momen ini juga menjadi pengingat bahwa solidaritas dan kebersamaan adalah inti dari perayaan Lebaran, bukan sekadar kemewahan atau perayaan berlebihan.

Kini, hampir seabad telah berlalu sejak Idul Fitri kelam itu, tetapi tantangan serupa masih terasa. Di tahun 2025, Indonesia menghadapi kondisi politik yang penuh dinamika setelah disahkannya UU TNI oleh rezim Prabowo. Undang-undang ini memperluas peran militer dalam kehidupan sipil, menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis dan akademisi mengenai potensi represi terhadap kebebasan sipil.

Krisis ekonomi global yang berimbas pada harga pangan dan inflasi juga mengingatkan kita pada kondisi 1930. Sementara masyarakat kelas atas tetap bisa merayakan Idul Fitri dengan mewah, di lapisan bawah, banyak yang masih harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Bantuan sosial semakin sulit diakses, ketimpangan sosial melebar, dan kebijakan pemerintah sering kali lebih berpihak pada elite dibanding rakyat kecil.

Sejarah selalu berulang dalam bentuk yang berbeda. Dari Idul Fitri 1930 hingga 2025, perayaan ini tetap menjadi cerminan kondisi sosial dan politik di sekitarnya. Namun, satu hal yang tak berubah: Lebaran selalu menjadi momentum untuk bersatu, berbagi, dan terus memperjuangkan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *