Hari Tani Nasional ke-64: Refleksi dan Harapan bagi Kedaulatan Pejuang Agraria.

Penulis : Kevin Abdullah Putra

24 September diperingati sebagai hari raya, penghormatan, dan pantulan bagi para pejuang di tanah yang dikenal karena citra agrarianya. Bukan hanya sebuah tanggal biasa di kalender, melainkan sebuah dorongan hati untuk menyelami kembali perjuangan para petani yang telah berjuang mati-matian demi hak mereka atas tanah yang dirawat layaknya seorang bayi yang baru lahir. Sayangnya para pejuang yang seharusnya bisa sejahtera dan berdaulat, malah dirampas hak atas tanah mereka. Sejarah mencatat, momen penting ini berakar dari pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Hal ini adalah bentuk sebuah kedaulatan bagi para petani. Namun, perjuangan itu belum sepenuhnya berakhir.

Tapak Tilas Benih Perjuangan Para Pahlawan

Dalam perjalanan panjang sejarah ini, beberapa tokoh seperti Tan Malaka dan Gus Dur muncul sebagai pahlawan yang membangkitkan kesadaran petani. Tan Malaka, dengan semangat sosialismenya, menekankan adanya tujuan objek pelaksanaan pembagian tanah atau redistribusi sebagai jawaban atas kesenjangan yang menindas. Gus Dur, dengan pemikirannya yang inklusif, memperjuangkan keadilan sosial yang seringkali terabaikan. Melalui perjuangan pemikiran mereka, kita diajarkan bahwa tanah bukan sekadar harta, melainkan jantung kehidupan yang menentukan nasib banyak orang.

Proses Panjang Penetapan Hari Tani Nasional

Perjalanan perjuangan bermula setelah kemerdekaan Indonesia yang mulai diproses dalam kurun waktu 2 tahun untuk membentuk Undang-Undang Agraria sebagai pengganti peraturan kolonial. Pada tahun 1948, letak ibu kota berada di daerah Yogyakarta, terbentuklah Panitia Agraria Yogya. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, panitia ini berpindah ke Jakarta pada tahun 1951 dan berganti nama Panitia Agraria Jakarta.

UU No 1 Tahun 1958: Pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan UU No 1 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Peraturan ini dibuat untuk menegaskan sikap Indonesia terhadap kolonialisme yang menguasai tanah-tanah dan menjadikannya sebagai barang sewa atau jual kepada orang kaya, serta mencegah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh hak pertuanan (land heerlijke rechten) yang ada.

Penyusunan UUPA: Dalam sidang DPR Gotong Royong (GR) pada 12 September 1960, Menteri Agraria Sadjarwo menyatakan, “Perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya

perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekanganan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”

Panitia yang terlibat dalam perumusan UUPA meliputi:

   – Panitia Agraria Yogya (1948)

   – Panitia Agraria Jakarta (1951)

   – Panitia Soewahjo (1955)

   – Panitia Negara Urusan Agraria (1956)

   – Rancangan Soenarjo (1958)

   – Rancangan Sadjarwo (1960)

Pengesahan UUPA: Pada 24 September 1960, DPR menyetujui pembentukan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UUPA ini bertujuan sebagai payung hukum (Lex Generalis) bagi pengelolaan bidang agraria nasional dan merupakan wujud dari amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Prinsip dasar UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat serta mengatur pembatasan penguasaan tanah, sehingga setiap warga negara memperoleh hak atas tanah dengan pengakuan hukum adat.

Terciptanya UU tersebut adalah sebagai bentuk proses panjang yang hasilnya adalah sebuah Keputusan Presiden Tahun 1963: Hari Tani Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Penetapan ini mencerminkan pentingnya sektor agraria bagi rakyat.

Pada masa Orde Baru, terjadi  perubahan signifikan di sektor pertanian. Pada tahun 1974, dibentuklah Badan Litbang Pertanian berdasarkan Keputusan Presiden untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan pertanian. Selanjutnya, pada 1980, Departemen Koperasi didirikan untuk membantu petani kecil di luar Jawa-Bali, dengan tujuan meningkatkan usaha pertanian berskala besar.

Hal ini berkembang dengan adanya kemajuan era teknologi pada tahun 1983. Badan Litbang Pertanian di reformasi sesuai dengan Keputusan Presiden No 24 Tahun 1983. Kemudian, pada tahun 1984, dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengajian Teknologi Pertanian (LPTP), yang tersebar di seluruh provinsi, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden No 83 Tahun 1993.

Dampak Perjuangan: Sebuah Kenyataan Pahit

Hari Tani Nasional seharusnya ada sebagai bentuk pentingnya hak atas tanah bagi kehidupan petani. Namun, di balik peringatan ini, masih banyak petani yang terjepit dalam lingkaran ketidakadilan. Perampasan tanah, konflik dengan korporasi, dan ancaman penggusuran adalah kehidupan sehari-hari yang harus mereka hadapi. Apa artinya kedaulatan jika tanah yang mereka kelola seumur hidup bisa diambil kapan saja?

Bagi mereka yang “tak terlihat”, kehilangan tanah berarti kehilangan harapan. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk generasi mendatang. Dalam setiap tetes keringat dan air mata, tersimpan harapan untuk masa depan yang lebih baik.


Isu Agraria yang Luput dan Tak Kunjung Dihargai.

Dilansir Kompas.com, korban pelanggaran HAM paling banyak berasal dari korban kasus konflik agraria yang menembus angka 2.275 dalam beberapa waktu empat tahun terakhir. Komisioner Komnas HAM Saurlin P. Siagian menyatakan dalam kolom berita tersebut bahwa, kasus terbanyak berada pada tahun 2022 sebanyak 603 kasus dan turun pada tahun 2023 dengan jumlah 582 kasus.

Perampasan tanah oleh perusahaan besar untuk eksploitasi sumber daya terus terjadi. Banyak petani masih terjebak dalam ketidakpastian hukum, tidak memiliki sertifikat tanah, dan kehilangan akses terhadap lahan yang mereka kelola dengan cinta. Krisis lingkungan dan perubahan iklim semakin menambah beban, membuat kehidupan akan tani semakin sulit.


Tercatat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, terdapat  241 letusan konflik agraria, 638.188 ha luas area konflik, 346 desa terdampak konflik, dan 135.608 jumlah korban keluarga yang terdampak pada tahun 2023.

Upaya penyelesaian konflik agraria di Indonesia, sudah seharusnya berkaca kepada akar permasalahan yang telah ada  puluhan tahun lalu. Secara kacamata sejarah, konflik agraria disebabkan oleh klaim sepihak dari para penguasa kepada rakyat yang telah ada dari masa kolonial Hindia-Belanda.

Deru Pantulan ke-64 Kali

Apakah kita cukup sadar tentang pentingnya perjuangan seorang petani sebagai penopang keberlangsungan agraria di tanah yang mereka bilang “Agraris”? Dalam dinamika dunia yang cepat berubah ini, sering kali kita terjebak dalam kesibukan akademis dan aktivitas sehari-hari, sementara mereka yang berjuang bersama tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, terus berjuang dalam ketidakpastian.

Peringatan Hari Tani Nasional seharusnya adalah momentum. Bukan sekadar merayakan sejarah semata, namun sebagai peluru ingatan bagi kita semua. Sebuah bukti, bahwa masa depan negara ini terletak pada sektor pertanian, yang selama ini berperan sebagai tulang punggung ketahanan pangan.  “Hidup matinya sebuah negara, ada di tangan sektor pertanian negeri tersebut.” Sebuah pernyataan dari Presiden Soekarno yang mengingatkan kita akan peran yang mungkin bisa saja kita adalah korban berikutnya cepat atau lambat.

Kemudahan akses terhadap pengetahuan dan informasi untuk mendalami isu agraria, mulai dari hak-hak petani hingga kebijakan pemerintahan di sektor agraria bisa kita lakukan sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang berjuang di lapangan. Berkumpul dan berdiskusi, di ruang kelas, di kantin, di tempat tongkrongan, di jalan, bahkan disetiap tempat jika kamu punya kesempatan, ajukan pertanyaan, buat pernyataan, lemparkan pesan, dan kembangkan ide-ide untuk menciptakan kesadaran walaupun hanya berdampak seujung kuku.

Dengan demikian, mari kita semogakan Hari Tani Nasional sebagai titik awal perenungan terhadap pernyataan”Tanah Milik Rakyat”. Pastikan bahwa setiap perjuangan petani tidak sia-sia.

Referensi

1. Kompas. (2024). Terus diwariskan: Konflik agraria tak berkesudahan. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/15/terus-diwariskan-konflik-agraria-tak-berkesudahan

2. Detik.com. (2023). Hari Tani Nasional 24 September: Tonggak Kedaulatan Petani atas Tanah melalui UU Agraria. Diakses dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6942608/hari-tani-nasional-24-september-tonggak-kedaulatan-petani-atas-tanah-melalui-uu-agraria

3. RRI.co.id. (2024). Wujudkan Apresiasi, Simak Sejarah Hari Tani Nasional. Diakses dari https://rri.co.id/lain-lain/996460/wujudkan-apresiasi-simak-sejarah-hari-tani-nasional-2024 4. Nasional.Kompas. (2024). Komnas HAM Catat 2.276 Konflik Agraria dalam 4 Tahun Terakhir Kepemimpinan Jokowi. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2024/01/25/18111491/komnas-ham-catat-2276-konflik-agraria-dalam-4-tahun-terakhir-kepemimpinan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *