Jakarta, 27 Juni 2024 – Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) kembali turun ke jalan pada hari Kamis, (27/6) untuk menuntut pencabutan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) No. 4 Tahun 2016 dan peraturan turunannya. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan seluruh elemen masyarakat sipil terhadap kebijakan Tapera yang dianggap memberatkan kaum buruh dan tidak efektif dalam mengatasi masalah perumahan di Indonesia.
Dalam aksi yang dilaksanakan pada Kamis pagi tadi, GEBRAK mengajukan beberapa tuntutan utama, antara lain pencabutan UU Tapera No. 4 Tahun 2016, pembukaan ruang dialog yang demokratis, Pembangunan perumahan rakyat yang layak dan terjangkau, pencabutan UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023, dan penerapan upah layak nasional.
Latar Belakang dan Dampak Kebijakan Tapera
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2024 tentang Tapera, reaksi negatif datang dari berbagai elemen masyarakat. Tapera mewajibkan seluruh buruh untuk berpartisipasi dengan potongan upah sebesar 3%. Selain itu, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2021 mencatat bahwa 124.960 orang belum menerima pengembalian tabungannya sebesar Rp567,4 miliar.
Tapera juga dinilai tidak efektif dalam mengatasi backlog perumahan (kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat). Kondisi ini terjadi meskipun telah mendapatkan dukungan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang besar untuk Bank Tabungan Negara pada 2023. Konsep Tapera yang lebih mengarah pada investasi di sektor keuangan, seperti surat berharga negara dan obligasi, dibandingkan pembangunan perumahan rakyat, menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan ini.
Kebijakan Tapera memiliki potensi dampak negatif yang besar, termasuk perampasan tanah, kerusakan lingkungan, dan penggusuran akibat proyek-proyek strategis nasional yang didanai dari iuran Tapera, yang tentunya akan merugikan petani, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, dan perempuan. Selain itu, potongan wajib iuran Tapera, asuransi kesehatan, dan tenaga kerja (BPJSTK/KS), Pajak Penghasilan, serta berbagai pajak dan potongan lainnya, dianggap semakin memberatkan beban hidup buruh. Belum lagi kenaikan upah yang tidak signifikan antara 0,1 hingga 0,3 persen yang menyebabkan kualitas upah semakin rendah sementara biaya hidup semakin tinggi.