Oleh: Pramuditha
Esok hari rasanya mulai terbiasa. Matahari terbit dan membawaku pada terang pagi yang sesak kini tak terasa begitu sakit. Di antara daun yang berguguran dan berbisik pada tanah bahwa mencintaimu bukan lagi perihal berjuang untuk sebuah pengakuan. Melainkan menikmati filantropi semu dari ketidakpastian yang tiada akhir. Dengan pena yang menari di atas secarik kertas, aku menulis di teras rumah dengan kepulan asap rokok, sambil menatap pohon di ujung jalan yang seolah berkata “tak ada gunanya kau menulis, sebab kau sangat menyedihkan dan membosankan. Ia tak pernah benar-benar membutuhkanmu, tak lebih dari sekadar menjadi objek kesepian sepertiku, yang berdiri sendirian di tepi jalan, yang hanya akan dipakai berteduh jika panas dan hujan datang”. Ya, aku juga ingin berkata hal yang sama pada diriku yang menyedihkan, yang tak bisa lagi berlari untuk menemuinya.
Sinar surya masuk menembus celah-celah daun pohon itu. Dua burung gereja hinggap di dahan pohon, aku termenung dan menatap mereka berdua. Alangkah bahagianya menjadi sepasang burung itu, bisa bermesraan di atas cakrawala dan memadu kasih di pohon yang kesepian itu. Seolah menjadi sontakan untukku bahwa kesendirian bukan berarti jauh dari kebahagiaan. Kita bisa saja memberikan ruang untuk kebahagiaan orang lain yang ada di sekitar kita. Sebenarnya menyadari hal tersebut lebih dari cukup untukku bahwa terkadang perihal membahagiakan tak hanya berbicara mengenai diri sendiri. Daun jatuh dari dahan itu dan sepasang burung itu kembali terbang. Pohon tak beranjak, ia tetap diam, tetapi berhasil menciptakan kejadian romantis di tengah kesendiriannya