Oleh: Arya Pramuditha
Fenomena krisis iklim yang menjadi fokus global membuat anak muda di berbagai negara mengkaji berbagai hal yang mengacu kepada pemahaman ekologi dan rumusan regulasi mengenai kebijakan lingkungan. Salah satu yang menjadi fokus kajian mereka adalah hukum yang membahas mengenai ekosida yang telah dirumuskan definisinya oleh para pakar hukum di seluruh dunia yang tergabung dalam panel PBB pada 21 Juni 2021 lalu.
Dalam rancangan itu dijelaskan bahwa tindakan yang merusak lingkungan yang berdampak secara luas dan jangka panjang adalah tindakan melanggar hukum yang perlu diatur dan diformalkan untuk kelestarian dan keberlangsungan hidup ekosistem planet Bumi. Ide ini diinisiasi oleh NGO bernama Stop Ecocide. Mereka berpandangan bahwa krisis iklim yang semakin parah hari ini, terjadi akibat dari krisis ekologi sehingga inisiatif itu muncul untuk mendorong kejahatan kerusakan lingkungan menjadi kejahatan berat.
International Criminal Court (ICC) mengkategorikan 4 kejahatan berat, yaitu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, dan kejahatan agresi, yang tercantum dalam Statuta Roma Bagian 2 Pasal 5. ICC telah menerima definisi dan dan gagasan mengenai ekosida yang akan menjadi poin kelima dalam kategori kejahataan berat. Ini akan menjadi suatu hal baru sejak Pengadilan Nuremberg mengadili para pemimpin Nazi dalam kejahatan berat pada tahun 1940.
Sebenarnya gagasan ini bukanlah hal baru. Pada tahun 1972, Perdana Menteri Swedia, Olof Palme menuntut Amerika Serikat telah melakukan ekosida atas tindakan memakai ‘Agen Oranye’. Penaburan herbisida pada perang Vietnam ini telah menghancurkan hutan-hutan dan ekosistem disana. Tuntutan itu masuk ke dalam Statuta Roma, tetapi kejahatan ekosida tidak diadopsi pada saat itu.
Menyikapi kinerja ICC saat ini sangat memungkinkan untuk dikritik atas keterlambatannya memasukan ekosida sebagai kejahatan besar dalam Statuta Roma. Kegelisahan terhadap krisis iklim dan ekologi membuat anak muda mendorong ICC untuk bisa mengadopsi mengenai hukum ekosida lebih cepat. Selain untuk menindak negara yang melakukan kejahatan ekologi skala besar, hal ini juga merupakan upaya dalam memberikan kesadaran bagi masyarakat global untuk menyepakati bahwa keberlangsungan manusia dalam menghadapi krisis ekologi global bergantung pada perlindungan lingkungan yang kita lakukan.
Instrumen hukum harus ada untuk meradikalisasi pemahaman Masyarakat, khususnya kalangan anak muda, yang akan mempimpin di masa yang akan datang. Jika tidak adanya instrumen hukum untuk menanggulangi krisis ekologi global, masyarakat di negara-negara yang berupaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan secara masif akan kalah oleh negara yang terus membuat tindakan kerusakan lingkungan dan lolos begitu saja. Meskipun pada akhirnya hukum ini lemah dalam upaya penegakannya, akan tetapi hukum ini akan menjadi gerbang pembuka untuk menghukum pelaku yang telah melakukan ekosida.
Setelah pertemuan Stockholm+50 yang diinisiasi oleh pemuda di seluruh dunia, telah dibuat draf mengenai suara pemuda di seluruh dunia yang berisi 34 kebijakan, disusun oleh Gugus Tugas Pemuda S+50 setelah konsultasi global. Tuntutan pertama adalah memberikan jaminan konstitusi dan hukum lainnya atas hak lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, yang memungkinkan korban perubahan iklim untuk membawa para pelaku kerusakan lingkungan ke pengadilan atas kejahatan seperti ekosida. Lebih spesifik lagi mengkriminalisasi perusakan lingkungan skala besar dengan memasukan ekosida dalam Satuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.
Hal-hal ini jelas menandakan bahwa pemuda dari seluruh dunia menyerukan undang-undang ekosida untuk didengar di pertemuan S+50. Mengapa pada akhirnya peran pemuda sangat penting dalam menekan pemangku kebijakan untuk hukum ekosida? Karena negara terbatas oleh kepentingan yang banyak melibatkan perusahaan perusak lingkungan sehingga sulit untuk meratifikasi hukum ekosida. Pemuda harus bisa menjadi pembawa pembaharuan pada hukum internasional maupun nasional karena setengah populasi manusia di seluruh dunia merupakan pemuda yang akan melanjutkan kehidupan di planet Bumi.
Saya melihat bahwa paradigma antroposentrisme dan globalisasi yang dikuasai korporasi menyebabkan bahasan mengenai diskursus ekosida menjadi terbatas. Kita bukan hanya bertarung melawan pemangku kebijakan yang memiliki kepentingan dalam mengusung hukum ekosida ini, tapi juga dengan korporasi yang berdalih dengan filosofi bahwa kekayaan alam harus dimanfaaatkan oleh manusia sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan manusia.
Hukum ekosida menjadi penting untuk anak muda yang resah terhadap krisis ekologi dalam memerangi kejahatan korporasi dan negara yang melakukan kejahatan ekosida. Sudah saatnya kita berbicara bahwa pemerhati lingkungan juga harus mencari tahu bagaimana hukum pidana akan menangani krisis ekologi yang telah didorong oleh praktik-praktik, seperti pembakaran batu bara dan bensin yang tidak hanya legal tapi juga penting untuk ekonomi global.
Meskipun ini adalah rumusan upaya jangka panjang yang baru akan membuahkan hasil bertahun-tahun kemudian, tetapi kita harus mulai saling menumbuhkan kesadaran dan pemahaman mengenai hukum ekosida. Telah banyak contoh kasus yang bisa kita lihat, seperti di Chernobyl, pembangkit nuklir Ukraina yang meledak pada tahun 1986 dan meninggalkan daerah yang sekarang sepi karena radioaktif yang berbahaya. Lalu ada pasir tar di Kanada utara dengan lubang limbah beracun dan tambang terbuka telah menggantikan 400 mil persegi hutan boreal dan rawa. Juga Teluk Meksiko, lokasi bencana Deepwater Horizon yang menewaskan 11 orang, menumpahkan sedikitnya 168 juta galon minyak mentah ke laut selama 87 hari dan membunuh banyak mamalia laut, penyu, ikan, dan burung yang bermigrasi.
Tentu kita tidak ingin hal-hal itu terjadi dengan kasus kerusakan lingkungan lain yang bisa jadi dampaknya lebih besar terhadap keberlangsungan ekosistem. Kampanye mengenai hukum ekosida saat ini telah dilakukan di berbagai negara, khususnya negara-negara bagian di Eropa. Untuk negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia masih sedikit bahasan mengeni hukum ekosida. Ada banyak faktor yang membuat hukum ekosida belum menjadi bahasan isu yang dikaji oleh anak muda di Indonesia, padahal banyak kasus ekosida yang dilakukan oleh negara dan perusahaan di Indonesia. Contohnya kasus Lumpur Lapindo pada tahun 2006 yang menyebabkan kerugian besar dan hilangnya ruang hidup masyarakat yang tinggal di daerah terdampak.
Saya melihat itu adalah tragedi mengerikaan yang dilakukan oleh persetujuan negara. Ketika hukum yang mendukung kelestarian lingkungan ada maka keadilan tertinggi bagi rakyat bukan lagi membahas soal konvensasi ganti rugi, melainkan hukuman bagi para pelaku yang terlibat dalam praktik kerusakan lingkungan tersebut. Anak muda di Indonesia hari ini tidak bisa hanya sekadar menganalisa isu krisis iklim dan mendorong keresahan hanya pada aspek instrumen politik ataupun sosial saja. Kita harus mulai merumuskan kebijakan hukum ekosida yang layak untuk setiap kasus-kasus kerusakan lingkungan yang pernah dan masih terjadi sampai saat ini di Indonesia.