Penulis : Muhammad Rayan Bramantyo
Pengalaman religius atau spiritual menyimpan keragaman jenis di dalamnya, dari yang manis dan mengharukan hingga pahit untuk dikenang, yang baik pun buruk. Ia mampu melingkup hal-hal di luar aspek keagamaan, yakni menyentuh ranah-ranah sosial, politik, budaya, ekonomi, geografi, dan sebagainya yang bisa dikaitkan. Pengalaman traumatik religius bersifat sangat subjektif dan reflektif, sehingga, untuk menelusuri pengalaman religiositas seseorang, kita perlu memahaminya dalam konteks subjektif individu yang kita hendak cari tahu.
Pengalaman religius-spiritual tidak sesempit sebuah penggambaran dari rasa hangat di dada ketika mendengar mantra, doa, nyanyian kerohanian, dan sebagainya. Fenomena-fenomena sosial seperti represi kebebasan berkeyakinan akibat penggusuran rumah ibadah kaum-kaum minoritas, bertumbuh-kembangnya Islamofobia akibat gerakan-gerakan terorisme yang membawa embel-embel Islam, dampak peperangan terhadap keimanan yang terjadi di sepenanjung Arab dan pada Perang Dunia I dan II, dan semacamnya merupakan sekumpulan fenomena yang mampu mendorong terciptanya Pengalaman Traumatik Religius terhadap individu-individu yang mengalaminya.
Konsekuensi dari pengalaman traumatik religius tentu dapat mendorong perubahan besar terhadap tindakan, pemahaman, hingga kejiwaan daripada individu-individu yang mengalaminya, dari yang ekstrem hingga masih dalam batas aman dan dengan intensitas yang rendah maupun tinggi. Dapat dicontohkan dengan timbulnya kecemasan individu setelah mendengarkan suara adzan dan doa-doa, keputusan seseorang untuk pindah mazhab atau aliran dalam agama atau/dan kepercayaan yang menurutnya lebih relevan dan aman, tertanamnya pemahaman yang lebih progresif terhadap penafsiran kitab-kitab suci alih-alih memandangnya secara rigid, dan lain-lain.
Tidak berarti konsekuensi dari pengalaman religius yang bersifat traumatik sudah pasti akan menghancurkan kondisi psikologis atau kejiwaan seseorang, menggiringnya menuju jalan-jalan kebencian dan ketakutan. Memang hal itu sangat memungkinkan, tetapi tidak mustahil untuk seseorang yang mengalaminya mengambil jalan yang lebih baik, yakni mengatasi traumanya dengan rasional, objektif, positif, non-bias, dan tetap tanpa melepaskan akal sehatnya.
Pada kolom berikut ini, penulis mengajak para pembaca sekalian untuk mengenal sejumlah tokoh yang sempat merasakan “abad kegelapan” atau sejarah-sejarah kelam dalam masa hidupnya, berkenaan dengan pengalaman traumatik religius-spiritual. Beranjak dari Karen Armstrong, Thich Nhat Hanh, sampai kepada Viktor Emil Frankl.
Sejumlah Respon dari Pengalaman Traumatik yang Berhubungan dengan Religiositas
- Karen Armstrong (1944 – saat ini)
Baru-baru ini penulis “menjumpai” sosok Karen Armstrong melalui berbagai media dan sepercik literatur. Armstrong adalah seorang mantan biarawati Katolik Roma yang kini lebih-lebih mengenali dirinya sebagai teis (theist) yang sekuler dalam pandangan-pandangannya—barangkali beliau layak disebut “Bertuhan tanpa beragama”. Perubahan signifikan pemikiran teologis Armstrong menjadi “Freelance Monotheist” dilatarbelakangi oleh tujuh tahun yang telah disilamnya (1962-1969 M.), ketika ia masih merupakan seorang “tahanan” dari peraturan-peraturan konven keagamaan yang konservatif, ketat, dan keras—dikisahkan pada memoarnya, Through the Narrow Gate: A Memoir of Spiritual Discovery.
Lekas silam tujuh tahunnya adalah masa-masa Armstrong ketika diinjak di bawah represi emosional dan ketidakbebasan berintelektual, tiada ruang untuk berdiskusi apalagi untuk berpikir di lingkungannya. Segalanya sempit dan hampa, yang menyertainya hanya doktrin-doktrin semu yang lebih-lebih melumpuhkan benaknya dengan perasaan-perasaan bersalah dan penderitaan tanpa kejelasan di dalamnya. Ini dosa, itu dosa, semuanya dosa. Hal itu mendorongnya untuk melakukan perenungan mendalam, apakah selama ini ia menapak langkah di jalur yang semestinya(?).
Singkat cerita, ia pun memberanikan diri untuk pergi dan memijak langkah-langkah yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan. Perjalanan spiritual barunya menuntunnya untuk memulai kembali dari awal.
Dari berbagai tekanan yang dialaminya, adalah hal yang patut dihormati terhadap kebijaksanaan Armstrong mengetahui ia tidak mengambil respon yang negatif dan menyudut pandangannya secara bias maupun menggeneralisir Kekristenan sebagai agama terdahulunya maupun agama-agama lain di luarnya. Dengan tabah, ia mengukuhkan sikap rasional-objektif dan justru memahami kekhilafan-kekhilafan yang diperbuat konven keagamaan yang konservatif pada masa lalunya untuk tidak lagi diulangi. Dari metode doktrinal keagamaan yang cenderung rigid, Armstrong beralih untuk membumikan metode-metodenya yang lebih ramah dan rasional ke publik: interpretasi praktis, personal, kontekstual, historis, non-literal, dan eksperimentatif. Tak jarang pula ia menumbuhkan interfaith dialogues (dialog antar agama atau/dan kepercayaan) yang bersifat non-violent (tanpa kekerasan) dan harmonis.
Kita dapat menjamah karya-karyanya di berbagai toko buku maupun perpustakaan yang menyediakan literasi agama dan kepercayaan. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Sejarah Tuhan dengan metode pendekatan berupa historis, komparatif, dan interdisipliner.
- Thich Nhat Hanh (1926 – 2022)
Selain daripada pengekangan sosial-kultural dalam lembaga keagamaan yang direfleksikan oleh Armstrong, ada pula pengekangan dari segi politik kolonialisme dan otoritarianisme yang dialami Thich Nhat Hanh (1926-2022). Hanh ialah penulis dari buku The Heart of the Buddha’s Teaching yang belakangan saya baca, seorang Zen master (biksu aliran Zen), aktivis perdamaian, sekaligus pujangga dari Vietnam.
Sejak kanak-kanak, Hanh terkurung dengan lingkungan yang penuh konflik, peperangan, sampai pada represi pemerintahan. Ia menghadapi rangkaian ketertindasan dari penjajahan Perancis, Jepang, hingga tirani rezim Ngo Dinh Diem di dalam pemerintahan sentralistiknya masa Vietnam Selatan (1955-1975)—dibelakangi oleh Amerika Serikat dan Prancis—yang anti-komunis dan diktatoral. Periode terburuk yang dialaminya adalah sejak bermulanya pemerintahan Ngo Dinh Diem.
Diem memberlakukan nepotisme, penghapusan otonomi-otonomi lokal, diskriminasi agama selain Kristen Katolik sekaligus mengekang orang-orang Buddhis, operasi militeristik, persekusi terhadap para oposannya, dan masih banyak lagi kekejaman yang diberlakukannya. Korban-korban yang berjatuhan dalam perjuangannya adalah sebagian banyak teman-teman seperjuangan Hanh yang termasuk sebagai para aktivis dan muridnya meninggal ketika sedang berjuang.
Hal tersebut justru tidak memadamkan motivasi Hanh untuk melawan. Bahkan, dengan cara-cara ketimuran, yang anti-kekerasan maupun kebencian dan harmonisme kepada alam. Dengan memperagakan aktivisme dan intelektualisme, melalui demonstrasi, pengadvokasian, lembaga-lembaga pendidikan, kepenulisan, belajar, dan mengajar, Hanh menyuarakan keadilan, kendatipun kemudian ia diasingkan selama empat dekade sampai ia memijak kembali di tanah kelahirannya di tahun 2005. Kembali ia merintis kehidupannya, meneruskan aktivitas-aktivitasnya sebagai seorang biksu dan penulis. Di kuil Tu Hieu, Hue, Thich Nhat Hanh menyisakan sisa-sisa hidupnya hingga pada 22 Januari 2022, di usia 95 tahun, menutup usia.
Perjuangan Hanh membuahkan hasil, yakni sebuah nama. Namanya termaktub dalam nominasi penghargaan Nobel Perdamaian dari pergerakan-pergerakannya yang penuh damai nan kasih, menyandingkan namanya dengan Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan lain-lain. Dari 100 lebih buku yang telah ia publikasi, sejumlah karyanya telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa. Orang-orang yang menggemarinya tidak hanya berpijak di tanah air Vietnam, melainkan di lingkup global. Seluruh penjuru dunia tunduk-takzim padanya. Sampai akhir hayatnya, Thich Nhat Hanh mewarnai hidupnya dengan kedamaian, kasih sayang, dan optimisme pada dirinya dan dunia. Tak henti ia menyuarakan itu. Ia terus menulis dan mewarisi ilmu-ilmunya kepada para muridnya yang kian mengaliri keilmuannya.
- Viktor Emil Frankl (1905 – 1997)
Dekat dengan perkara-perkara yang dilalui Hanh, masih di lingkup politik, Viktor Emil Frankl menyimpan kisah yang sama. Membandingkan Thich Nhat Hanh yang terdampak oleh penjajahan dan rezim diktatorial hingga diasingkan dari negara, Frankl menjumpai hal yang sama—bahkan lebih buruk darinya. Ia ditahan di dalam kamp sayap kanan ekstrem Nazi di Auschwitz oleh sebab yang sangat sepele: ras dan kepercayaannya sebagai Yahudi!
Frankl dibui sejak 1942 sampai 1945, tiga tahun lamanya disiksa di kamp konsentrasi dan mendapati berbagai penyiksaan yang dikenakannya. Frankl dianiaya secara fisik maupun psikis, langsung-tak langsung. Di kamp Auschwitz, Frankl dipaksa untuk mengoperasikan tugas-tugas buruh tanpa tempat yang layak untuk bernaung, dengan sedikitnya pangan dan minum serta terbatasnya keamanan pun keselamatan yang tidak menjamin keniscayaan ragawinya. Dalam masa ketertindasannya pula Frankl mendapati kabar bahwa keluarganya—kecuali adik perempuannya—tergolong menjadi korban-korban kamp konsentrasi Nazi. Mereka merupakan saudara kandung yang lebih tua dari Frankl, orang tua Frankl, istri Frankl yang turut gugur kala tengah mengandung, dan anaknya yang masih berada di kandungan sang istri.
Dikisahkan secara nyata peristiwa-peristiwa di atas melalui bukunya, Man’s Search for Meaning, bagaimana Frankl dalam menghadapi ketertindasannya dapat berdiri begitu teguh dalam secara fisik dan psikologis. Makna adalah alasan yang tidak tergantikan baginya. Dengan jiwa yang menggebu-gebu memberi muka yang hidup, penuh angan-angan menelusuri arti di dunia. Seolah Frankl mampu merangkai “surganya” sendiri walau “neraka” terikat dengannya di tiga tahunnya. Bahkan, Frankl tak segan memeluk hikmah yang ia dapat sedari kepergiannya dari kamp Auschwitz.
Frankl menganyam formulasi dari ide-ide yang bermekaran di benaknya yang ia kembangkan selama berada di kamp konsentrasi tersebut: logoterapi dari psikoterapi. Ia menegaskan motivasi utama pada diri manusia sejatinya merupakan naluri atau hasrat akan makna (will of meaning), bukan hasrat akan kepuasan (will of pleasure) maupun kuasa (will of power) yang digambarkan oleh Sigmund Freud dan Alfred Adler. Penyokong utama individu untuk hidup berhaluan pada gejolak jiwa yang berdahaga akan makna; purpose of life.
Lepas tiga tahun, eksistensi Jerman mulai luntur dari frame otoritarianisme dan fasisme Nazi, memecah diri menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Frankl meraih kemerdekaannya setelah tiga tahun dikerangkeng dalam kamp konsentrasi Nazi. Di Universitas Wina, sebagai profesor, Frankl memberikan kelas-kelas perkuliahan seputar bidang psikiatri, neurologi, dan psikologi. Dirinya menyandang gelar profesor di Harvard, Stanford, Dallas, dan Pittsburgh, serta gelar profesor kehormatan untuk logoterapi di Universitas Internasional Amerika Serikat. Ia mengetuai Poliklinik Neurologi Wina selama 20 tahun. Seorang rekannya bernama Joseph Fabry juga mendirikan lembaga yang mengatasnamakan namanya, yakni Viktor Frankl Institute of Logotherapy. Frankl menghabiskan sisa-sisa waktunya mengembangi neurologi, psikiatri, dan psikologi, sekaligus menjalankan kehidupan sehari-harinya secara produktif.
Pada tahun 1947 ia menikah dengan Eleonore Katharina Schwindt, seorang Kristen Katolik, dan diberkati seorang anak perempuan. Seperti tokoh-tokoh sebelumnya, ia gemar menghadiri perbincangan intelektual dan akademik di luar pekerjaan sehari-harinya. Ia dikenal akan kebaikan dan keramahannya. Frankl meninggal sebagai seorang tokoh, tokoh yang dikenang sepanjang masa hidupnya dan tidak hanya di negeri Austria, tetapi di seluruh penjuru dunia. Pemikiran-pemikirannya kian ditekuni dalam lingkup akademik sampai saat ini menunjukkan ia masih relevan untuk dibahas bersama pemikiran-pemikirannya di masa kini.
Faktor-faktor yang Mendorong Respon Optimis
Seseorang pada awalnya akan mengalami disonansi kognitif. Anggaplah perasaan yang tidak nyaman yang dimiliki individu ketika individu memperlakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dirasa tepat untuk dilakukan. Sehingga, hal ini mengacu kepada konflik mental yang timbul dengan keyakinan, perilaku, dan sikap seseorang yang tidak selaras. Dalam hal ini boleh diumpamakan dengan individu yang melahap doktrin-doktrin yang terlalu tekstual sampai-sampai bertentangan dengan common sense, dan lain-lain. konflik batin seorang umat yang memandang langsung penyimpangan yang dipertontonkan oleh tokoh-tokoh agama tertentu
Sebagian individu yang memiliki mental yang tangguh dapat menyikapi gejala tersebut dengan mengoreksi, menakar, hingga menginterpretasi kembali kepercayaannya yang beralih kepada tafsiran-tafsiran yang lebih relevan dan mendasar. Boleh saja ia mengganti pemikirannya, merubah alirannya, sampai berpindah agama maupun berdaulat tanpanya. Tak sedikit juga yang menolak untuk berkeyakinan setelahnya.
PTG (Post-Traumatic Growth) menempati otoritas yang penting dalam menyuplai stimulus optimis-positif setelah gejala traumatis yang dialami oleh individu, dengan mendorongnya kepada pertumbuhan dan perkembangan dari pembentukan karakter, pencarian makna, dan transformasi kehidupan yang lebih baik. Tidak berarti secara gamblang dipahami PTG menandai pulihnya individu secara penuh trauma-trauma tersebut, melainkan perubahan psikologis seseorang yang lebih solutif dalam menanggulangi trauma-trauma itu sendiri. Dalam hal ini, spesifiknya adalah PTG yang beralih tangan dari Religious-Traumatic Syndrome (RTS).
Sungguh disayangkan fenomena-fenomena tragis yang berpotensi mewujudkan pengalaman traumatik religius masih menunjukkan eksistensinya di bumi yang kita pijak hingga saat ini. Untuk membayangkan dunia yang tanpa kekerasan, ketidakadilan, ketertindasan, dan hal-hal buruk lainnya seolah hanya fatamorgana utopis. Darah nadi peperangan di berbagai wilayah dan benua masih berdenyut, diskriminasi SARA, dan terutama penyalahgunaan institusi-institusi keagamaan menjadi faktor-faktor pendorong pengalaman traumatik religius muncul. Kendatipun demikian, tidak menutup kemungkinan respon-respon optimis-positif timbul.Menjumpai tokoh-tokoh seperti Viktor Frankl, Thich Nhat Hanh, dan Karen Armstrong memberikan kita hikmah untuk mengukuhkan objektivitas dalam menilai dan rasionalitas dalam menyikapi segala sesuatu terutama seputar keagamaan dan spiritualitas.
Terlepas dari output atas religiositasnya, yang menjadi sebuah keharusan adalah bagaimana cara mengolah mental secara sadar di kala menghadapi carut-marut dalam batin. Perjalanan spiritual seseorang seyogyanya dibebaskan dan bersifat individual dalam artian bersikap adil dan tidak merugikan kelompok sosial maupun individu manapun, ke mana saja jalan itu akan menuntun.