Civilphobia di Era Demokrasi: Ketika Kritik Dibalas Represi

Penulis: Andri Apriyatna

Kebebasan berekspresi merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan informasi secara bebas. Baik secara lisan, tulisan, maupun melalui media lainnya. tanpa rasa takut akan intimidasi atau represi, selama tidak melanggar hukum. Dalam praktiknya, hak ini menjadi fondasi utama demokrasi karena memungkinkan warga untuk berpartisipasi aktif dalam isu-isu sosial dan politik. Namun, era digital yang harusnya menjadi ruang lebih luas bagi kebebasan berekspresi, kini justru menjadi metode pembungkaman baru dengan munculnya fenomena yang bernama civilphobia

Secara umum, civilphobia merupakan ketakutan atau fobia terhadap partisipasi sipil, terutama ketika warga negara menyuarakan pendapatnya dalam isu sosial-politik. Ini bukanlah istilah yang populer dalam pembicaraan publik, namun fenomenanya sangat nyata, yaitu ketakutan sistematis dari pihak berkuasa terhadap peran aktif warga dalam mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam konteks ini, pemerintah cenderung menganggap kritik sebagai ancaman, bukan kontribusi.

Fenomena civilphobia bukan sekadar alergi terhadap kritik. Ia merupakan bentuk penolakan terhadap prinsip partisipatif dalam demokrasi, dan berujung pada upaya represif, baik digital maupun fisik terhadap warga yang bersuara. Ketika negara gagal menciptakan ruang aman bagi ekspresi, maka muncul tindakan pembungkaman yang sistematis.

Senjata Pembungkaman: Buzzer & Stigma

Civilphobia menjelma dalam berbagai bentuk. Seperti contohnya di media sosial, suara kritis kerap menjadi sasaran cyber attack dari akun-akun anonim atau buzzer politik. Bentuknya bervariasi, mulai dari doxxing,serangan verbal di media sosial, hingga pemblokiran akun oleh pihak tak dikenal. Cyber attack merupakan akibat dari memberikan komentar terhadap suatu kebijakan, yang pada akhirnya berujung  pada pembungkaman ruang diskusi. Stigmatisasi juga menjadi lazim dan menjadi alat ampuh dalam membentuk narasi tunggal. Mereka yang menyatakan pendapat sering disebut sebagai “anak abah,” “antek asing” atau  “anti-pemerintah,” seolah-olah kritik itu adalah tindakan yang merusak daripada bagian dari demokrasi itu sendiri.

Terkhusus pada stigma “antek asing”, pada 15 Februari 2025, dalam pidato peringatan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Jawa Barat, Presiden Prabowo Subianto melontarkan pernyataan yang menyorot kekuatan asing yang dianggap berupaya memecah belah Indonesia. Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa beberapa LSM dan media massa didanai oleh pihak asing untuk mempengaruhi opini publik, dan menyebut mereka sebagai “antek-antek asing” yang membahayakan kedaulatan negara. Ini menjadi salah satu bukti bvhwa pemerintah tidak menanggapi kritik sebagai bahasa pembangunan.

Salah satu contoh nyata lagi dalam praktik civilphobia dapat dilihat dalam kasus doxxing terhadap Sverre, warga negara Denmark keturunan Indonesia sekaligus admin akun X @/WSTWMYKY, yang dikenal vokal menolak revisi Undang-Undang TNI. Setelah menyuarakan kritiknya secara terbuka, identitas pribadi Sverre dibocorkan dan rumahnya di Depok didatangi oleh aparat yang diduga dari kepolisian Indonesia. Meskipun pihak Polri membantah keterlibatan dalam aksi tersebut, insiden ini menunjukkan ciri khas civilphobia, yakni penggunaan intimidasi baik digital maupun fisik, dan pelanggaran privasi untuk membungkam kritik warga. Tindakan seperti ini tidak hanya mengancam kebebasan berekspresi, tetapi juga memperkuat atmosfer ketakutan dalam diskusi ruang publik.

Ruang Publik: Diskusi Bebas dan Aman

Menurut Jürgen Habermas dalam konsep public sphere-nya (Öffentlichkeit dalam bahasa Jerman) adalah ruang di mana masyarakat bisa berkumpul secara bebas untuk berdiskusi tentang masalah-masalah umum (isu publik) dan membentuk opini bersama, tanpa campur tangan langsung dari negara atau pasar. Ruang publik seharusnya menjadi arena rasional bagi diskusi terbuka, di mana warga negara dapat menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut. Namun, dalam kondisi civilphobia, ruang publik justru menjadi arena ketegangan dan pembungkaman. Teori ini menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya bisa terjadi ketika ruang publik bebas dari dominasi negara atau kelompok tertentu.

Salah satu penerapan ruang publik ada pada media sosial. Platform seperti X dan Instagram sering digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk membahas isu-isu sosial dan politik secara terbuka. Meskipun tidak selalu ideal, media sosial menyediakan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, berdiskusi, dan membentuk opini publik secara kolektif. Hal ini sejalan dengan gagasan Habermas tentang pentingnya ruang publik sebagai arena diskusi bebas dan rasional dalam masyarakat demokratis. ​Dan sekali lagi, fenomena civilphobia bisa mengganggu adanya aktivitas ruang diskusi tersebut.

Demokrasi yang Membeku

Jika dibiarkan, civilphobia akan membuat demokrasi membeku. Diskusi ruang publik menyusut, warga sipil takut bersuara, dan kekuasaan berjalan tanpa adanya pengawasan. Padahal, dalam sistem demokratis, kritik adalah bahan bakar utama bagi perubahan dan kemajuan bangsa. Tanpa partisipasi sipil yang bebas, pemerintah akan berjalan tanpa koreksi serta ketimpangan kekuasaan akan meningkat. Akibat dari ketimpangan kekuasaan tersebut, kebijakan publik jadi tak berpihak pada rakyat, dan kepercayaan terhadap institusi publik menurun.

Fenomena civilphobia bukan sekadar ketidaksukaan pada kritik, melainkan bentuk pengingkaran terhadap prinsip demokrasi itu sendiri. Ketika negara menolak membuka ruang bagi warganya untuk bersuara, maka demokrasi berubah menjadi ilusi yang hanya hidup di atas kertas. Oleh karena itu, penting bagi semua elemen masyarakat untuk terus mendorong terciptanya ruang publik yang inklusif dan aman, tempat kritik dipandang sebagai kontribusi, bukan ancaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *